Terimakasih Kepadaku

10 1 0
                                    

Aku tidak bisa naik mobil, terus terang saja. Bapak tidak pernah mengijinkan aku naik mobil. Anak perempuan itu, kalau kemana-mana ya diantar. Bisa naik motor, itupun diajari kakakku sembunyi-sembunyi. Bapak memang se-seksis itu. Padahal jaman sekarang pilot wanita saja sudah bertebaran.

Dan itu berbuntut aku semobil dengan bajingan ini, Bagus. Bapak dan ibu pulang duluan, dikira aku akan menginap di rumah sakit.

"Makasih, Han."

Aku mendiamkannya. Aku tidak sudi.

"Han, aku benar-benar berterimakasih. Aku sadar, kamu membantu kami begitu banyak.

"Aku bisa dekat dengan Metha karena kamu. Sampai sekarang, saat Metha tidak mau menikah. Dia mau karena kamu. Semua hal tentang kami, kamu yang membantu. Aku benar-benar berterimakasih," katanya tanpa beban.

Brengsek. Sialan. Bajingan. Aku menamparnya dengan kekuatan super. Dia melongo.

"Turun."

"Han," tahannya.

"Kamu sadar nggak sih, Gus. Aku ngempet, nahan. Aku kesini karena kasihan. Bukannya sudah maafin dan lupa. Kamu kalau nggak punya perasaan, itu mulut jagain dikit. Asal mangap, semua orang bisa. Dasar nggak punya otak."

"Aku bakal nganter kamu sampai rumah."

"Nggak perlu. Turun disini. Berhenti."

Aku bukan perempuan yang minta turun supaya dibujuk. Kalau aku bilang turun, literally aku memang marah dan tidak sudi semobil dengan bajingan itu.

Aku berdiri di trotoar dan menelepon kakakku untuk menjemputku. Disini jarang kendaraan umum, apalagi taksi.

Rasa kasihanku menguap tiba-tiba. Brengsek. Calon istrinya depresi sampai mau bunuh diri, dia malah bersikap tai. Aku dendam pada Bagus, tapi kasihan pada Metha.

Kakiku kesemutan. Aku jadi duduk di trotoar, bersila. Kakakku ini ngapain coba, aku sudah menunggu lama.

Aku mencoba meneleponnya lagi. Entah kenapa ada suara berisik ketika teleponku diangkat oleh kakakku. Aku tidak peduli, detik pertama, aku langsung menyembur.

"Mas Cakra, dimana?" Tanyaku jengkel.

"Ini lagi di jalan, Dek. Sabar ya."

Di jalan, toh. Pantes berisik. Kukatakan untuk tidak lama-lama. Mas Cakra mengiyakan.

Ternyata kakakku itu menjemputku bersama calon istrinya. Pantes lama. Pasti mereka pacaran dulu, muter-muter tidak jelas sampai bosan dulu. Mereka tega membiarkan aku kepanasan di pinggir jalan. Mana aku yang sudah item, tambah item aja.

"Tega banget sih, Mas." Sungutku.

Aku duduk di kursi belakang, lalu meminta pacar mas Cakra duduk bersamaku. Sebenarnya dia mau, sabuk pengamannya sudah dibuka. Mas Cakra malah ngambek.

"Mas tuh emang jalan jauh tadi, Dek. Nggak sabaran banget sih," dia kembali memasang sabuk pengaman pacarnya.

"Emangnya kenapa Hani tadi diturunin?"

Sherly ini tipe tidak banyak omong tapi baik. Aku jarang ngomong sama dia, padahal aku sering mampir ke toserbanya pakdhe buat ngambil eskrim gratis. Eh, dia manggil aku nama langsung? Enak aja. Masih tuaan aku tiga tahun, woy.

"Ribet ceritanya. Aku tidur aja deh," aku lalu bergeser ke pojok, bersiap tidur.

Kudengar lagu dari music player di mobil, yang jelas kutahu bahwa itu bukan selera bapak atau kakakku. Pasti ini disambung sama ponselnya Sherly. Lagunya galau semua.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang