Aku dan Kisahku

28 2 0
                                    

Bagus: Han, ini Bagus. Tolong nomor ini disimpan.

Bagus tentu tidak tahu kalau nomornya selalu, selalu aku simpan. Selama enam tahun aku menyukainya, selama itu pula aku sering melihat deretan angka nomor ponselnya. Sejak jaman sms masih membayar, sampai jaman kirim satu gratis seribu sms, sampai sms sudah tidak digunakan karena semua orang memakai whatsapp, aku selalu bermimpi mempunyai suatu topik supaya aku bisa chatting-an dengannya.

Hanifah: Iya, Gus. Sudah aku simpan ya. Kalau ada perlu, wa atau line saja. Aku jarang punya pulsa soalnya.

Terkirim. Tapi tidak dibalas.
***

Satu bulan sudah berlalu dari kejadian sms dari Bagus, dan masih belum ada sms atau wa balasan darinya. Aku kembali mengecek ponsel untuk kesekian kali. Sebenarnya aku tahu bahwa Bagus tidak akan tertarik untuk membuka percakapan denganku. Aku saja yang ngeyel dan tidak tahu diri.

Abimaknyus: Han. Aku jemput jam setengah enam. Udaranya masih segar.

Aku dan Abim janjian jalan pagi di lapangan dekat komplek rumahku. Rutinitas ini selalu kami lakukan di hari minggu terakhir setiap bulan sejak kami berada di bangku SMA. ini kami lakukan agar kami tetap bisa bertatap muka, mengingat sekolah Abim jauh di kota.

Hanifah: Iya, ini bawa sarapan sekalian atau beli aja?

Abim tidak pernah mau makan di rumahku. Malu katanya. Selapar apapun, dia pasti akan menjawab masih kenyang jika ditawari makan oleh ibuku. Pernah aku katakan gayanya selangit, dia malah mengatakan kalau ia jaga image sebagai cowok keren.

Abimaknyus: Jangan. Sandwich mama tadi sisa banyak, sekarang lagi diwadahi ke kotak.
(Menerima gambar)

Abimaknyus: Itu enak banget lho, Han.

Aku tidak akan pernah melupakan roti dan kue buatan mama Abim. Sebagai pecinta makanan enak, aku memberikan tiga jempolku. Empat jempol untuk ibuku.

Ibu mengeluarkan suara di tengah deru suara blender, "Dek, sapu dulu halaman depan. Sekalian halaman samping."

Aku meninggalkan ponsel di nakas, mencari sapu lidi bertangkai di belakang rumah, lalu menyeretnya ke halaman samping.

"Deeeek." Nada panjang suara ibu kembali terdengar. Aku menghentikan gerak gagang sapu di tanganku. "Jangan tidur terus."

"Ini sudah di halaman samping, Bu." Aku menekankan kata "bu" dengan nada panjang sejenis nada suara ibu. Kesal juga lama-lama diteriaki.

Aku kembali menggerakkan gagang sapu untuk mengumpulkan daun jambu dan mangga kering yang berserakan seantero halaman samping. Selesai dengan halaman samping, aku bergerak ke halaman depan. Mulai dari pinggir, ke tengah halaman. Setelah semua sampah aku angkut ke belakang untuk dibakar oleh bapak nanti sore, aku kembali ke depan membawa selang air.

Daripada aku dimarahi oleh ibu karena tidak peka pekerjaan, lebih baik aku bertindak cepat.

"Dek, hp-mu bunyi terus itu."

Aku menghentikan kegiatan menyiram rimbunan pohon melati yang memagari rumahku. Becekan air bekas siram-menyiram menggenang lebar. Pasti sebentar lagi aku dimarahi.

Jam weker di nakas menunjukkan pukul enam, dan Abim belum datang. Seperti biasa dia selalu telat. Ponselku yang terus berbunyi pasti karena telepon atau sms dari Abim, mengatakan telat, alasannya, dan lain sebagainya.

Abim positif gila. Enam sms dan dua puluh tujuh panggilan tak terjawab?

Dan semakin terkejut ketika membukanya. Bukan cuma Abim. Ada satu sms dari Abim. Seperti biasa, memberitahu kalau akan telat dan lain sebagainya. Bergerak ke bawah, ada lima pesan dari Bagus. Aku segera membuka satu persatu.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang