Aku dan Seandainya

9 0 0
                                    

Bukan hal baru bagiku menunggu seseorang. Aku sering menunggu Abim, dimana saja. Tapi kali ini, menunggu membuatku tertekan. Menunggu Bagus lebih tepatnya.

Aku bisa santai menunggu Abim, karena aku percaya Abim akan datang, seterlambat apapun dia. Tapi dengan Bagus, semuanya samar, semuanya meragukan, semuanya terlihat tak nyata.

Bagus datang tidak lama kemudian, yang membuatku menghela napas lega. Dia keluar dari mobilnya, yang langsung kupersilakan masuk. Dia mengamatiku atas bawah, membuatku salah tingkah.

"Cantik, Han."

Kalimat singkatnya membuatku tersipu. Aku benar-benar tidak suka diriku yang berhadapan dengan Bagus. Aku berubah menjadi gadis aneh pemalu yang cuma memperhatikan penampilan dan terkesan cari muka.

Kegiatan kami hari ini adalah pergi ke danau. Bernonstalgia. Aku dan Bagus memilih duduk di rumput di tepi danau. Kami berdua lebih banyak diam, raga kami berdekatan, hatiku dalam genggamannya. Entahlah, hatinya dimana.

"Dulu jembatan gantungnya masih jelek ya, Gus." Gumamku.

"Dulu belum ada taman juga." Sambungnya.

"Banyak yang berubah. Kita makin tua aja."

Dia terkekeh, kesan pendiam masih terlihat. Hanya saja senyumannya membuatku hangat.

"Bentar lagi aku wisuda, terus pindah ke Jakarta."

Aku menoleh cepat. Dia masih tersenyum, matanya menerawang.

"Viona gimana?" Tanyaku penasaran.

"Vi sementara tinggal sendiri di rumah, sama mbak yang ngurus rumah. Nanti kalau sudah lulus, Vi ikut kesana. Dia ngotot mau ke UI. Aku yang ngalah. Biar aku bisa mengawasi agak dekat." Dia diam sebentar, kemudian melanjutkan. "Lagipula aku dapat kerjaan disana."

Sedih, jelas. Aku baru saja kencan perdana dengannya. Jika dia ke Jakarta, sama saja kesempatanku untuk dengannya punah.

"Oh. Dimana?" Tanyaku, mencoba tertarik.

Dia kemudian menjelaskan, di salah satu perusahaan kontraktor. Sebenarnya dia lolos di beberapa perusahaan lain dengan pendapatan lebih tinggi, tapi berhubung adiknya ingin kuliah di Jakarta, ia memilih posisi itu.

"Tapi mungkin aku setiap satu atau dua bulan sekali pulang." Ujarnya sambil lalu.

"Iya, kasihan Viona kalau ditinggal pas ujian-ujian gitu." Komentarku.

"Bukan cuma Vi aja." Dia diam sebentar. "Kalau aku pulang untuk menemui kamu juga, kamu mau?"

Aku menjawab lantang dan spontan, "Ya mau lah!"

Dan langsung kututup rapat mulut lancangku dengan telapak tangan.

Bagus terkekeh, dan mengacak rambutku. "Kamu lucu banget."

Oh my god. Ini benar-benar Bagus? Bagus yang itu, mengacak rambutku. Aku tidak akan keramas selama-lamanya, demi jejak telapak tangannya yang berharga.

Suasana lovey dovey yang aku rasakan hancur berantakan oleh dering ponsel Bagus. Bagus melihat layar lama sekali, aku menyuruh mengangkat. Dia permisi untuk mengangkat telepon, aku mengangguk.

Tak lama, Bagus kembali duduk di sampingku. Aku ingin bertanya dari siapa, tapi aku takut dia marah. Jadi, aku diam saja.

Mungkin jika yang disebelahku adalah Abim, aku pasti langsung merebut ponselnya. Lalu aku lihat riwayat teleponnya. Abim pun seperti itu. Ya, kami sedekat itu. Tapi dia bukan Abim, dan aku tidak berani memperlakukan Bagus seperti Abim.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang