Aku pulang ke rumah orangtuaku naik motor. Ya. Naik motor. Dari Malang ke Kediri, aku sudah biasa seperti ini selama empat tahun.
Ayolah, tidak perlu sedih. Ya begini ini nasib jomblo. Banyak jomblo yang menjadi tangguh sepertiku. Percayalah. Banyak jomblo yang tidak ngenes-ngenes amat, bahkan mereka mensyukurinya.
Aku salah satu orang yang terkadang bersyukur atas kejombloan yang menimpaku sejak lahir. Dengan menjomblo, aku lebih mandiri. Aku tidak perlu manja dan menelepon teman pria untuk mengantar jemput. Aku bisa kemana-mana sendiri. Aku tidak perlu pusing meminta ijin kepada orang lain yang bukan keluarga jika aku ingin bepergian. Lagipula aku tidak perlu pusing kemana pergi malam Minggu. Tujuanku malam Minggu hanya dua tempat, kasur dan meja belajar.
Pilihan lain untuk jomblo abadi seabadi es di kutub selatan ini adalah Abim menjemputku untuk pergi berdua. Dan itu sekarang akan aku lakukan.
Aku menepuk-nepuk pipiku setelah meratakan krim wajah yang diberikan dokter spesialis kulit langgananku, sementara Abim main dengan kakakku di ruang tamu. Yah, bisa dibilang mereka akrab. Kalau mereka bertemu malah aku yang dikacangi. Dasar maniak game.
Aku memulaskan lipstik sebagai sentuhan terakhir. Aku keluar dari kamar, berhadapan dengan ibu yang langsung melipat tangan di dada, isyarat bahwa ibu meminta penjelasan sekarang.
"Mau buka puasa di luar sama Abim, Bu." Jelasku secara singkat.
"Berdua? Yakin setan sudah dipenjara selama bulan ramadhan?"
Skak mat. Kalau berdua gini memang susah ngurus perijinannya. Alhasil, aku hanya diam mematung, menunduk dalam-dalam, sambil menggerakkan jempol kakiku yang tiba-tiba terasa kaku.
Ibu menarik napas kesal, kemudian menghembuskannya dengan setengah mendengus. "Jam delapan malam pulang. Kalau membantah, besok-besok dilarang jalan-jalan."
Memang aku jarang sekali -cenderung tidak pernah- keluar malam saat di rumah. Aku selalu keluar pagi atau siang, dan dapat dipastikan sebelum adzan magrib berkumandang aku sudah duduk manis atau rebah-rebahan cantik di dalam kamar sambil menulis buku harian.
Aku mengangguk cepat, mengikuti ibuku yang melangkah ke ruang tamu untuk menemui Abim.
Setelah basa-basi sebentar, Abim berpamitan pada ibu dan kakakku. "Hani saya culik sebentar ya, Tante. Saya kembalikan kalau uang tebusannya pas." Ijinnya sambil cengengesan. Aku mencubit lengannya kecil sambil kupuntir.
Ibuku tersenyum manis. "Culik aja, Bim. Tapi jam delapan udah di rumah, ya?"
Ibu mengalihkan pandangannya kepadaku. "Dek, sudah bawa powerbank?"
Aku memeriksa tasku sekali lagi. Tanganku mengaduk-aduk mencari benda kotak penyelamat itu. Aku menyengir kuda.
"Ambil sana. Adek ini kalau dibilangi suka ngelewes aja."
Setelah aku memasukkan powerbank, memakai sepatu, dan mencium tangan ibu, aku berangkat buka puasa bersama berandal jomblo tidak tahu diri ini. Berandal yang merupakan satu-satunya lelaki, yang mau berteman denganku. Ironis.
***
Kami makan bebek goreng Haji Slamet yang membuat aku kepikiran setengah hidup. Akhirnya acara ngeces sebelum buka puasa terbayarkan sudah. Aku bergidik melihat ekspresi Abim yang menjijikkan. Dia duduk bersandar di kursi, wajahnya seperti tidak kuat menyangga badan sambil mengelus perutnya.Abim bersendawa cukup keras. Aku menoyor kepalanya.
"Bim, ih. Jorok banget."
Aku benar-benar jijik dengan orang yang bersendawa di depan orang lain. Sendawa bagiku seperti kentut. Aku sangat-sangat-sangat benci dan perbuatan ini sangat-sangat-sangat tidak sopan. Bahkan saat di rumah, tidak ada yang kentut atau sendawa saat di meja makan.
"Hehe. Maaf, Han."
Aku melengos ke samping, mengabaikan cengiran menyebalkan darinya. Dasar manusia bodoh gila dan pura-pura tak berdosa.
Tepat saat aku menoleh, mataku menangkap sosok yang aku rindukan, aku impikan setiap hari. Ya, aku mencintainya, sangat. Namanya mengalir di darahku, teringat setiap detak jantungku. Dan nama itu semakin banyak terulang di hatiku seiring menggilanya detak jantungku saat ini. Bagus. Desahku lirih, hampir tak bersuara, hanya terdengar olehku sendiri.
Dia duduk berhadapan dengan seseorang yang duduk membelakangi mejaku dan Abim. Aku menunduk, malu kalau-kalau Bagus sampai tahu aku di sini. Aku bergeser ke samping Abim, duduk membelakangi Bagus dan wanitanya.
"Kenapa, Han?" Tanya Abim dengan dahi mengerenyit. Menambah porsi kejelekannnya.
Aku menggeleng pelan, "Sholat yuk, Bim."
Abim meletakkan punggung tangannya di dahiku, "Yakin tidak ada apa-apa? Mukamu pucat loh, Han."
Iya. Aku tidak apa-apa. Fisikku baik-baik saja. Hatiku, entah bagaimana bentuknya.
***
Kami pergi menuju salah satu cafe di dekat kedai bebek goreng. Aku memesan sederhana saja. Secangkir moccachino untuk menghilangkan rasa sedih. Aku butuh yang manis-manis, karena kenyataan kisah cinta yang aku hadapi selalu pahit.Aku menyeruput sedikit kopi yang aku pesan, merasakan hangat pahit manis nyaman yang mengalir ke lidah dan kerongkonganku. Aku memejamkan mata beberapa saat, meresapi teguk demi teguk pahit kopi yang tersamarkan rasa manis.
"Han, minggu depan aku mau lomba ke Semarang." Abim memecah kesunyian, aku menelengkan wajah ke arahnya.
Aku memasang senyum palsu, topeng yang selalu aku kenakan. "Lah, gimana terus? Masih jomblo lho. Nggak ada yang ngasih semangat dong."
Abim menoyor kepalaku, sambil memajukan bibirnya sehingga tambah monyong seperti Donald bebek.
"Yeeee. Malang banget nasib saya, Tuhan. Punya temen satu, kadar pekanya nol, jomblo dari lahir pula." Keluhnya dengan wajah (pura-pura) memelas dan tangan menengadah seperti berdoa.
"Hih. Mending jomblo terus, daripada pernah pacaran tapi gaya pacarannya aneh dan cuma seumur jagung." Kataku membela diri.
Abim yang menyeruput kopinya langsung tersedak. "Mending pernah pacaran, setidaknya nanti di curriculum vittae bisa ditulis 'kelebihan: penakluk wanita'. Daripada cv-mu, 'kelebihan: perawan, jomblo, cowok gak mau deketin, tidak pernah naksir cowok. Tidak pernah..."
"Stop, Bim. Cukup." Sentakku. Abim diam, mengkerut meminta maaf.
Aku sebenarnya tidak masalah dengan kata-katanya. Toh aku sudah sering mendengarkan itu darinya. Tapi kenapa, aku bahkan tidak tahu menahu mengapa aku jatuh cinta, dan bagaimana perasaan berbalas. Akhirnya, pikiran berkecamuk menyeret kesadaranku. Kubiarkan tiga perempat gelas kopiku terbuang, toh sudah dingin.
"Han, maaf deh. Beneran tidak ada maksud apa-apa. Minum dong kopinya, kan dibayari. Dingin tuh kopimu."
Sama sekali aku tidak marah kepada Abim. Tidak. Aku hanya marah kepada diri sendiri, mengapa pahit kenyataannya. Sudahlah. Aku tidak ingin banyak bicara.
"Pulang yuk, Bim."
Abim mengangguk sambil menautkan jari telunjuk kami saat berjalan bersisian. Ya, dingin, sejuk, nyaman. Mungkin aku bisa mengganti pahit dingin manis kopi dengan manis lembut perlakuan teman dan keluargaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exhale The Past
ChickLitDi masa lalu, aku bertemu denganmu. Di masa lalu, aku menyukaimu. Di masa lalu, kamu mengacuhkanku. Di masa lalu, kamu menyakitiku. Aku melupakan perbuatanmu di masa lalu, tapi mengapa aku masih menyimpan rasa ini sampai sekarang?