Perjalanan ke rumah adalah jarak antara Stasiun Gubeng dan Stasiun Jombang, terus lanjut naik bis jurusan Malang. Tidak sampai Malang, aku turun di Pasar Kandangan lalu naik ojek ke rumah. Jika perjalanan ke rumah begitu jauh, maka tempat duduk terbaik adalah di kiri samping jendela menghadap depan. Sempurna adalah ketika ada teman seperjalanan, dalam hal ini aku jamin Abim selalu ada.
Abim lebih jauh lagi. Rumahnya di pegunungan sana. Kami nanti akan berpisah di halte pasar, lalu naik ojek ke rumah masing-masing. Biasanya dia naik travel, tidak mau ribet katanya. Kalau bukan aku yang memaksanya naik kereta, tentu saja Abim tinggal duduk sampai rumah.
Aku tidak mau pulang sendirian dalam keadaan seperti ini. Aku memang membenci Metha dan Bagus sampai ubun-ubun, tapi kadang aku masih sering menangis sendiri. Bukan menangisi cinta bertepuk sebelah tanganku, tapi karena mengingat betapa tega mereka kepadaku.
Kali ini aku tidak naik ojek, karena bapak menjemputku di stasiun. Rumahku memang masuk wilayah Kediri, tapi lebih dekat ke Jombang. Abim juga.
Aku tadi naik kereta jam enam sore, habis magrib. Sabtu malam, kereta sedang ramai-ramainya. Aku dan Abim tidak mendapat tempat duduk. Kami menggelosor di sambungan gerbong. Melelahkan.
Lelah ini tidak ada apa-apanya dibanding bapak. Saat kutanya tadi, bapak menunggu sejak sebelum magrib. Kutanya sholat dimana, bapak bilang di masjid dekat alun-alun.
Bapak lalu menceritakan agenda besok. Katanya, mas Cakra sampai rumah besok pagi. Langsung mau ngelamar mbak Sherly, calonnya.
"Udah beli seserahan sama peningset emang--"
Kami teriak bareng, ada ibu-ibu menyerobot. Yang istighfar cuma bapak, aku teriak, Abim stay cool.
"Jangan ajakin Bapak ngomong terus, Dek. Bapak jadi nggak fokus ini."
Gegayaan.
"Seserahannya belanja sama ibu kemarin, mbak-nya diajak. Peningsetnya udah ada, kalung yang bandulnya batu jamrud punya ibumu. Masih muda, dek. 20 tahunan. Itu kan karyawan toserbanya pakdhe."
"Masa? Kok serem sih, kayak pedofil aja."
Langsung dihush sama bapak. Jodoh itu, katanya.
"Bapak nyusul ke bandara besok?" tanyaku.
"Nggak, Dek. Mas Cakra cowok, bisa naik apapun. Bapak nggak mau manjain anak lelaki," duh, Bapak. "Kalau anak perempuannya Bapak, harus dijaga. Nggak boleh ada lecet dikit aja."
Bapak tidak tahu saja kalau aku terluka parah di hati. Tak kasat, tapi perih.
Bapak tidak membelokkan mobil ke jalan rumah kami, tapi terus ke jalan rumah Abim. Abim sudah sibuk mengelak. Biasa, sombong dan rasa nggak enakannya keluar. Padahal bapak biasa aja.
"Nggak papa, nanti tunjukkan rumahmu ya, Mas Abim. Di Pengajaran, 'kan?"
Abim mengangguk. Bapak konsen nyetir sampai di rumah Abim, lalu ngoceh berdua sama aku. Ngomong tentang calon istri kakakku.
Bapak menyuruhku turun untuk membuka pagar. Aku menunggui mobil masuk, sambil bersandar di pagar. Kebiasaan, pagar rumah kami selalu tertutup. Maklum, perumahan tempat tinggal kami tergolong sepi. Khawatir ada apa-apa nanti.
Aku langsung disambut ibu, dan bilang kalau aku kurusan. Aku juga merasa begitu. Padahal aku makan lebih banyak dari biasanya.
Aku sebenarnya mau meletakkan tas di kamar, lalu aku menemukan seonggok manusia yang menghadap piring berisi mi goreng. Kalau ini dijadikan berita di Tribunnews, seperti ini judulnya, 'lama tidak pulang ke rumah, seorang gadis menemukan sosok ini!!!'
"Mas Cakraaaaa."
Aku langsung ndusel-ndusel di dada kakakku. Dia tertawa lepas sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.
"Barusan aku datengnya, Dek."
Dia lalu salim ke bapak. Kami memang dibiasakan untuk memanggil mas dan adek. Lucu memang. Setua ini, aku dipanggil adek oleh semua orang. Tak jarang aku ditertawai.
"Ndusel-ndusel aja sepuasnya, bentar lagi nggak bisa kamu. Ganti Sherly yang nempel terus," komentarnya saat aku tidak melepas pelukanku.
"Aku mau tidur sama Mas Cakra." Aku kangen.
"Nggak boleh!" Yang nyaut bukan cuma satu orang, tapi tiga orang.
***
Sherly sebatangkara, itu yang kutahu setelah lamaran tadi. Dia tinggal di rumah tua peninggalan neneknya, lantainya masih plesteran. Tadi yang berkumpul adalah tetangga dekatnya, sekitar lima orang lelaki perempuan. Kasihan.
Entah apa alasan kakakku menikahinya. Semoga cinta, bukan kasihan.
Kami sampai rumah setengah duabelas, langsung solat. Pikiranku sudah tidak enak saat aku lihat kakakku masuk dengan mata merah dan tangan mengepal, terlihat marah.
Aku ingin keluar, tapi ibu mencegahku. Aku jadi semakin tidak tenang.
Sampai terdengar ribut-ribut, aku keluar. Aku tertawa getir, siapa lagi sumber kekacauan ini. Bagus berlutut dengan wajah memerah menahan tangis. Tante Ira, ibu Metha yang tidak pernah pulang, sudah bersimbah air mata. Mas Cakra berdiri dengan napas tidak teratur, rahang bapak mengetat.
"Saya mau minta maaf ke Hani, Om."
Bapak menghela napas panjang.
"Aku nggak bisa, Gus."
Semua menoleh kepadaku. Aku menahan tangis. Tante Ira merayap, berlutut dibawah kakiku. "Tante mohon, Hani. Metha harus menikah. Dia tidak mau. Ini salah saya, Hani."
Aku mematung.
"Silakan saja menikah, ini bukan urusan saya."
"Dia bilang, kamu lebih berharga dari saya. Kamu yang menemaninya. Neneknya bahkan gagal membujuknya, Hani. Dia tidak mau menikah dengan Bagus.
"Saya ibunya, Hani. Dia bahkan mengatakan apa bedanya dia dengan saya, sama-sama hamil tanpa suami. Saya teriris, Hani. Saya tidak ingin dia seperti saya."
Seorang ibu berlutut demi anaknya. Ibuku sudah menangis sesenggukan.
"Hani, tante mohon."
"Nikahkan saja mereka. Ada atau tidaknya Metha, sah saja. Saya tidak peduli. Demi Tuhan saya sakit hati."
Aku tetap tidak bisa. Aku tidak tega kepada ibunya, tapi aku membenci anaknya. Aku sudah membalikkan punggungku. Tante Ira menahan kakiku.
"Dia ingin menggugurkan bayinya. Dia depresi berat, Hani. Dia di rumah sakit karena berusaha bunuh diri seminggu ini."
Aku tidak percaya sampai aku melihat sendiri keadaan Metha. Tangannya diikat ke ranjang rumah sakit. Tangan kirinya ditusuk infus. Lingkaran matanya terlihat jelas. Aku tidak pernah melihatnya sekosong ini.
Aku memblokir semua kontaknya. Aku merasa tersiksa, mungkin dia lebih tersiksa. Aku meratapi nasibku, dia mungkin menyesali kebodohan yang dilakukannya sendiri.
Ibu yang menemaniku masuk, sudah sesenggukan daritadi. Metha terjaga, tapi seperti tak punya jiwa.
"Tha."
Dia menoleh, lalu menangis. Aku menangis bersamanya. Aku tidak akan bertanya kenapa dia tega, itu tidak akan terjawab.
"Jaga diri, Tha. Ada nyawa lain di perutmu."
Metha hanya menangis tanpa suara, lalu mengangguk kencang.
"Menikahlah, Tha." Ini dia, aku merasa aliran di pipiku semakin deras.
Dia menggeleng keras.
Aku menggigit bibir, "Pikir anakmu, Tha. Aku--" sulit mengatakan tidak apa-apa. "Nggak papa," terucap lirih.
Dia menggeleng semakin kencang. Dia mulai meraung.
"Aku maafin kamu," lirih sekali. Aku tidak yakin apakah aku jujur.
Aku mengelus rambutnya. "Aku cuma bilang itu. Besok aku ngajar di sekolah, inget 'kan? Aku harus balik ke Surabaya nanti sore." Artinya, aku tidak bisa disini terus. Aku ingin pulang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Exhale The Past
ChickLitDi masa lalu, aku bertemu denganmu. Di masa lalu, aku menyukaimu. Di masa lalu, kamu mengacuhkanku. Di masa lalu, kamu menyakitiku. Aku melupakan perbuatanmu di masa lalu, tapi mengapa aku masih menyimpan rasa ini sampai sekarang?