Beri Aku Waktu

22 1 0
                                    

Aku tidak pernah menyangka seumur hidupku, aku akan bersama orang di depanku ini. Aku kira, aku akan mencintainya dalam diam, mirip dengan cerita sebutir jombs yang tidak akan pernah bisa mencintai orang lain seumur hidupnya.

Enam bulan lalu, setelah kami melewati kencan ketiga kami, dia mengajak aku menjalani hubungan ini. Bukan serta merta, Bagus memang sudah memberikan kode-kode. Terlalu cepat memang, tapi mengingat enam tahun lebih hidupku kuhabiskan untuk mengaguminya, aku tahu ini penyelesaiannya.

Aku melirik Bagus yang sedang membalas pesan dari entah siapa. Sangat mengganggu.

Dan daripada aku memendam pertanyaan dalam hati, lebih baik aku mengutarakannya. Kalau dibiarkan bisa jadi jerawat. Begitu dia memasukkan benda itu ke saku, aku langsung menanyakan kepadanya.

"Dari temen sekantor. Ngajak hangout bareng. Aku jawab lagi di Surabaya." Jawabnya sambil menggulung kemeja biru tuanya.

"Ngajak minum?"

"Kalo makan ya sambil minum." Ujarnya datar. Pengen nabok, untung pacar.

Aku memicingkan mata, dia tertawa kecil.

"Minum dikit. Nggak sampai mabuk."

"Hm." Aku berdehem malas. "Barang haram itu tahu!"

Bagus mengangkat alis sebelah, khas lelaki cool. Gesture yang sebenarnya aku sukai. "Polos banget kamu." Ia mengelus puncak kepalaku. "Kamu nggak tahu aja kelakuannya mereka."

"Apa?"

"Hm."

"Bagus ih."

Bagus mengambil kentang goreng di depannya, menyuapkan kepadaku. "Buka mulut."

Aku membuka mulut, menerima suapannya.

"Kalau ngunyah gitu kan diem."

Aku tetap mengunyah, sambil cemberut. Mirip ikan gembung.

Dia kemudian menceritakan apa yang dialaminya selama satu bulan ini. Aku juga menceritakan banyak hal, walaupun semuanya sudah kuceritakan padanya setiap kali kami teleponan atau chatting.

Sejak berpacaran dengan Bagus, setidaknya aku bisa makan mewah sebulan sekali. Bagus tidak pernah mau makan di tempat biasa, sakit perut katanya.

"Bentar ya, tunggu sini. Mau beli arum manis di sana." Aku menunjuk gerombolan anak kecil yang mengantre, memutari gerobak penjual makanan manis mirip bongkahan kapas itu.

Bagus mengikuti arah telunjukku. Kami sedang ada di taman kota, duduk di bangku sambil melihat bocah-bocah SMA pacaran yang sedang rangkul-rangkulan.

Aku dan Bagus? Cukup gandengan tangan saja.

"Ayo." Bagus merangkul bahuku, yang langsung aku turunkan. Risih.

Aku mendapatkan yang aku mau. Arum manis berwarna pink cerah. Seperti namanya, rasanya manis.

Bagus ganti menggenggam tanganku. "Gimana bisa nagih jatah ena-ena. Meluk aja nggak boleh. Ciuman juga nggak mau."

"Apa, Gus?"

"Enggak. Temenku bilang, katanya kalau aku ke Surabaya mau ena-ena." Katanya sambil tertawa kecil. "Ya mana bisa, orang kalau sama kamu itu sama aja kayak jalan bareng anak SD pas mau nyebrang."

Aku meneruskan, "Ukuran tubuh juga mendukung banget ya."

Dia tersenyum tipis dan mengacak rambutku. Aku bersungut-sungut sambil merapikan rambut seadanya.

***
Aku melambaikan tangan pada Bagus yang naik ke taksi. Nanti dia tidur di hotel seperti biasa. Hari Jumat adalah hari khusus diriku, dan Sabtu Minggu adalah hari khusus adiknya. Setiap bulan selalu begitu. Besok pagi dia pasti naik bis ke kampung halaman kami, Kediri.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang