Aku Bukan Dia

10 1 0
                                    

Aku meneguk sirup parasetamol anak rasa stroberi untuk meredakan kepalaku yang terasa berputar. Ya, parasetamol anak rasa stroberi. Aku memang tidak bisa menenggak obat dalam bentuk tablet atau kapsul. Kalau mendapat obat dari dokter, aku selalu menggerusnya di sendok, lalu mencampurnya dengan air dan banyak gula.

Aku juga tidak pernah mau disuntik. Bahkan saat aku imunisasi di SD, aku selalu ditunggui ibuku.

Benar. Aku memang tidak cantik, bodoh, kekanakan, dan manja sampai mati.

Maka dari itu, pacarku malah menyukai sahabatku sendiri. Dan harus aku akui dia lebih segalanya dariku.

Aku belum memastikan maksud dari perkataan Bagus kemarin malam, pun tidak ada konfirmasi dari Bagus sendiri. Aku juga tidak bertanya kepada Metha. Aku membiarkannya. Aku butuh waktu. Kami butuh waktu.

Bitha menyelonong masuk ke kamarku. "Mbak Han, tadi mas Faisal ngajak keluar berempat. Nanti disusul kesini, sama kak Abi."

Aku semakin menenggelamkan diri dalam selimut, beserta kepalaku.

"Aku sakit, Tha." Kataku dari balik selimut.

Kurasakan tempat tidurku melesak, Bitha duduk di tepiannya. Tangannya bergerak meraba keningku.

"Nggak panas, Mbak."

"Pusing banget, Tha. Ditambah sakit gigi." Aku juga sakit hati kronis.

"Bilang sendiri ke kak Abi. Nanti aku dikira bohong."

Aku menggeleng. Nanti kalau aku mengatakan sakit, pasti Abim langsung kesini. Dari membawakan berbagai macam obat, menghiburku, bahkan menemaniku mengoceh sampai tidur dan memastikan aku istirahat cukup.

Apalagi aku sakit setelah kejadian semalam.

"Ya, Mas." Bitha mengangkat telepon. Kemungkinan besar dari Faisal. Mereka baru satu bulan jadian. Ceritanya sih Bitha udah move on dari Abim.

"Mbak Hani sakit, Mas. Iya. Sakit gigi. Mas sekarang lagi sama kak Abi? Ya udah biar kak Abi yang bicara sama mbak Hani."

Aku menerima ponsel yang diangsurkan kepadaku.

"Sakit gigi, Bim." Rengekku. "Sampai ke kepala, ikut sakit kepalaku sekarang." Aku membuat rangkaian cerita palsu.

Cerita sebenarnya: Aku memikirkan peristiwa semalam sampai kepalaku berdenyut nyeri dan berputar, lalu gusiku bengkak setelah aku sikat sampai berdarah-darah.

Dan Abim pasti menanyakan, "Udah makan?" Benar sekali tebakanku.

Aku diam saja. Tidak berniat menjawab.

"Kamu nggak bisa makan karena gigi sakit atau nggak napsu makan?"

Nggak napsu makan, batinku.

"Sakit gigi." Jawabku.

"Bubur ayam, mau?"

"Nggak usah, Bim. Ini udah makan roti tadi." Bohongku.

Bitha menyeletuk keras, "BOHONG, KAK."

Nada suaraku berubah memohon, "Biiim."

"Han." Panggilnya. "Aku tahu kamu. Tahu kalau kamu mikir bakal sakit kayak gini. Kamu mikir masalah kamu sama pacarmu, kan? Ayo jalan-jalan. Biar nggak suntuk."

Hening.

"Aku kesana ya?"

Masih hening. Tidak kujawab.

"Kasih ke Bitha teleponnya. Faisal mau ngomong ke Bitha."

Aku menyerahkan ponsel dengan malas, kembali menenggelamkan diri. Lalu meraih guling dan merangkulnya dekat kepalaku, supaya telingaku tertutup.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang