Suasana begitu hening setelah aku menceritakan semua kepada Abim. Aku hanya mendengar sesekali tetes air keran di westafel cuci piring. Masih banyak yang belum diselesaikan. Ayam yang diukep bertumpuk belum digoreng, kangkung yang belum ditumis, untung saja Abim tadi sudah menyelesaikan kolak pisangnya.
"Be-berengsek nggak sih, dia itu?" Tanyaku sesenggukan.
"Iyalah." Jawab Abim berapi-api. "Ngapain gitu coba. Cowok tuh kalo jantan, ditolak cewek nggak nyerah dan usaha sendiri. Kalau mengorbankan orang lain kayak Bagus itu cemen."
Benar juga kata Abim, Bagus tuh cemen. Aku saja yang buta.
Abim lalu mengajakku melanjutkan apa yang kami mulai tadi. Terus terang saja, aku juga bingung mau diapakan. Maka, kami masak saja semua. Masalah menghabiskan semuanya, bisa dipikir nanti.
Abim sekarang bertugas menggoreng ayam, aku memasak cah kangkung. Iya, kami kelihatannya makaaaaaaan terus. Bukannya apa-apa. Abim suka makan, aku juga. Sebenarnya kami tidak tiap hari makan bersama, tapi sering saja kalau Abim atau aku lagi ingin masakan rumah. Dan aku selalu memasak di flat Abim. Kenapa? Apalagi selain suasananya yang lebih mirip tempat tinggal alih-alih kosan anak kuliahan. Ada kitchen set, lengkap dengan kulkas dan dispenser. Juga microwave! Bayangkan, microwave! Katanya nanti buat angetin makanan, biar nggak pakai panci kayak wong ndeso. Ada televisi dan sofa empuk yang biasa kami duduki dan bercerita panjang lebar. Sofa itu juga diduduki saat makan, saat mengerjakan tugas kuliah, dan dikentuti tiap hari.
"Aku nggak di pihak yang salah kan, Bim?" Tanyaku sambil memasukkan kangkung, sesekali menyedot ingus.
"Ya nggaklah. Kamu tuh korban, Han." Abim menggoreng ayam sambil memakai helm, biar tidak terkena minyak, katanya.
Metha juga gitu, sebaik-baiknya niatnya untuk mendekatkan aku dengan Bagus, dia tetap jahat. Ya mana ada skenario gila begitu. Kalau mau sama Bagus ya sudah. Manalah aku mengganggu mereka kalau saling cinta.
Agaknya Abim sesuara denganku. Buktinya, sambil menggoreng ayam dengan helm konyolnya, dia mengoceh dan menyalahkan Metha.
"Biarin deh, Han. Kena karma mereka."
Ini bukan semua salah Metha, kata Bagus. Kalau aku pikir benar juga. Aku yang selalu memikirkan Bagus, dari SMA sampai kerja seperti ini. Hanya Bagus, tanpa mencoba membuka diri pada orang lain. Aku sadar itu, tapi ini tidak bisa dijadikan alasan Metha untuk bertaruh dengan Bagus.
"Han, kalau makan kira-kira dong. Hapemu bunyi tuh. Angkat sana."
Bukan karena aku sibuk makan, aku sibuk melamun sampai lupa segalanya. Kulihat nama yang tertera sebelum menggeser gambar telepon hijau ke samping. Bapakku.
"Tadi ada yang nyari kamu, katanya penting," Bapak memberitahukan alasannya menghubungiku setelah saling bertanya kabar.
Kutanyakan siapa yang mencariku. Dijawab, "Ibunya temanmu SMA itu lo. Metha."
Jarum emosiku bertambah skala dengan sangat cepat. Tidak puas dengan anaknya, sekarang ibunya. "Ngapain?" Tanyaku. Aku tidak berharap punya urusan dengan orang itu.
"Ada masalah penting yang harus dibicarakan. Kamu minggu depan pulang ya? Ibu juga udah kangen kamu."
Mendengar ibu rindu kepadaku, aku luluh. Aku akan pulang. "Aku pulang, tapi nggak mau ketemu Metha, Pak."
"Iya, tapi kamu mau kan bicara sama ibunya?" Kujawab tidak. Aku kesal kalau dipaksa.
"Nak, masalah itu dihadapi bukan dihindari. Bapak selalu bilang apa dulu?"
Kujawab dengan lirih, "Jangan jadi orang pinter, jadilah orang yang bener."
"Nah, itu. Menghindar memang pinter, nggak sakit hati, pokoknya kamu menang. Gitu aja. Kalo orang bener, ya diselesaikan masalahnya, sampai tuntas." Bapak itu absurd tapi bisa dipegang omongannya.
Kuiyakan saja, daripada panjang lebar.
"Udah makan belum?"
"Sudah."
"Masih punya duit?"
"Bapak ini apaan sih. Aku kan udah kerja, ya jelas duitku banyak lah."
"Lha Bapak kan tanya aja, siapa tahu kamu nggak ada duit, tapi malu mau minta. Jangan sampai kekurangan uang di luar, kalau butuh apa-apa telepon Bapak."
"Aku kan udah kerja, duitku banyak. Hehe."
Krisis uang sih tidak, Pak. Krisis kepercayaan, iya. Dua orang yang aku percayai menghianati aku. Aku hampir tidak percaya jika takdir mempermainkan aku selucu ini.
"Halah sombooong, masih banyak duitnya Cakraaaaa." Gurau bapak. Aku tidak sakit hati, Kakakku memang kerjanya mapan di Pangkalan Bun.
"Dek Hani," panggil bapak.
"Dalem, Pak."
"Metha itu temanmu, dia lebih banyak bikin kamu seneng daripada bikin kamu sedih. Bapak pesan, ingat baiknya saja. Jangan ingat buruknya. Jangan biarkan keadaan merubah anak Bapak."
Mana ada. Peribahasa saja berbunyi 'karena nila setitik rusak susu sebelanga'. Mau atau tidak, pasti ada yang berubah antara aku dengannya.
"Bapak tahu semua, kan." Gumamku, masih bisa didengar Bapak.
"Dari ibunya Metha. Dari kamu kan belum, pulang makanya. Lagian Mas Cakra mau ngelamar pacarnya, kamu harus ikut."
Wah, berita baru.
"Iya. Udah ya, Pak. Aku di luar soalnya." Bahaya kalau bilang di tempatnya Abim.
"Iya. Inget, kalau nggak punya duit bilang Bapak." Diulangi lagi kata-katanya. Artinya bapak serius.
Aku mengiyakan. Telepon ditutup bapak, aku menjawab salamnya.
Duh, bapak. Ikut perih hatiku. Segitu perhatiannya sama anak, takut anaknya tidak bisa makan di kota orang.
Aku sering bilang ke Bapak, jangan takut anaknya kelaparan. Besok aku ingin bilang, daripada mati kelaparan, aku lebih takut mati sakit hati. Seperti yang aku alami saat ini. Sakitnya sampai bikin panas dadaku, dan jantungku seperti akan lepas saking perihnya.
"Han, nonton yuk. Tadi aku lihat Insidious 4 udah tayang."
Ini dia, aku harus senang-senang.
"Aku bayarin, Bim. Solat dulu, terus berangkat."
Abim terkekeh,"Ngerayain hari jadi jomblo lagi ya, Han?"
"Abis itu makan mi ayam yang di gerobak pinggir jalan deketnya Kenjeran yang dulu itu ya, Bim?"
Abim mengangguk, lalu mengacak kecil rambutku. Aku tahu dia ingin aku mencacinya seperti yang sudah-sudah, tapi aku hanya diam. Sekelebat aku mengingat adegan ini. Tindakan sekecil itu bisa mengingatkanku kepada Bagus. Aku tidak bisa menjamin bisa bersikap biasa saja kepada mereka, seperti kata Bapak.
Setelah semua candaan dan percakapan curhatku dengan Abim, kukira aku sudah lupa. Aku kira, sudah bisa menghujat diselingi tawa berarti lupa.
Dengan sedikit kenangan, rasa sedih ini seperti dipicu keluar. Aku tidak menyangka, mengingatnya saja bisa sesakit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exhale The Past
ChickLitDi masa lalu, aku bertemu denganmu. Di masa lalu, aku menyukaimu. Di masa lalu, kamu mengacuhkanku. Di masa lalu, kamu menyakitiku. Aku melupakan perbuatanmu di masa lalu, tapi mengapa aku masih menyimpan rasa ini sampai sekarang?