Aku dan Kesempatan

28 2 0
                                    

Hari ini aku menyerahkan naskah skripsi akhir, dan mengurus pendaftaran yudisium. Sendiri, karena teman-temanku telah melakukan semuanya jauh sebelum aku ujian. Aku memang agak terlambat. Aku tumbang tepat setelah aku ujian. Migrainku kambuh, dan aku baru melihat draft yang sudah dicoret pembimbing minggu berikutnya.

Tepat setelah aku selesai mengurus semuanya dan duduk didepan ruang dosen, ponselku bergetar. Metha calling.

"Han, dimana?"

"Kampus. Mau pulang ke kontrakan. Kenapa?" Kataku sambil memasukkan bolpen dan mengambil kunci motor.

"Aku mau takziah ke Bagus. Orangtuanya meninggal. Kamu mau ikut?"

"Aku masih di Malang, Tha. Kamu mau nunggu?"

Metha seperti menimbang-nimbang. Akhirnya ia memutuskan, "Habis ini kamu pulang, kan? Aku tunggu. Tapi hati-hati, jangan ngebut. Kamu kan kebiasaan kayak balapan sirkuit."

Aku memutar bola mata, "Iya, Bawel. Tunggu beneran loh."

Kami memutus telepon setelah saling mengucap salam. Aku segera ke parkiran, mengambil motor dan tancap gas ke kontrakan. Entahlah, ini semua begitu mendadak. Yang aku lakukan hanya memakai jaket, menyiapkan perlengkapan di tas, dan pulang.

Aku menghela napas. Berulangkali, selama perjalanan. Entahlah, apa aku harus berbela sungkawa, atau... bahagia.

Ya, aku jahat jika berpikir ini adalah anugerah agar aku bisa bertemu Bagus.

***
Memasuki pekarangan rumahnya yang luas untuk pertama kali, aku merasakan kenyamanan. Rumah besar dengan pekarangan yang ditumbuhi bunga yang terawat dan bersih. Aku juga melihat dua pohon Tabebuia yang memang sedang berbunga lebat di bulan Agustus.

Sayang sekali, rumah indah ini diselimuti atmosfer bernama kesedihan.

Kami berdua -aku dan Metha- melihat Bagus sedang duduk di karpet ruang tamu. Wajahnya terlihat lelah, dan sedih. Adiknya, Viona, duduk bersandar di bahunya sambil sesekali masih mengusap air mata. Kami melangkah mendekati mereka. Menyalami Bagus dan adiknya, kemudian menyalami semua orang yang duduk di dekat mereka.

Seharusnya aku tidak iri dengan kebebasan Metha mendekati Bagus, toh mereka tidak ada apa-apa. Mereka berteman baik, entah kenapa. Tapi rasanya sakit, melihat orang lain bisa sedekat ini dengan orang yang diharapkan bisa dekat dengan kita.

Bagus mengusap kepala adiknya dengan sayang. Katanya, tadi Viona pingsan beberapa kali, tidak kuat menyaksikan kedua orangtuanya menuju peristirahatan terakhir. Aku mengangguk mafhum. Wajar, wajar sekali. Viona masih kelas tiga SMA, jiwanya masih rapuh.

Bagus mengajak adiknya ke kamar. Katanya lebih baik Vi istirahat saja, daripada lemas lagi. Adiknya menurut saja, mungkin kepalanya masih terasa kosong akibat kehilangan mendadak. Aku bisa melihat kasih sayang yang terpancar di mata Bagus untuk adiknya, dan hatiku ikut menjadi hangat dengan itu.

Bagus kembali menemui kami di ruang tamu. Terimakasih kepada Metha yang membuat aku seperti kambing congek. Aku mendengarkan, benar-benar cuma sebagai pendengar percakapan mereka. Entah kenapa aku begitu malu. Ingin bersuara, tapi aku takut salah dan Bagus semakin membenciku.

"Hani punya teman yang mengurus panti. Iya kan, Han?" Kata Metha tiba-tiba saat Bagus meminta saran kemana dia menyalurkan bantuan dan mengadakan pengajian.

Ya, aku memang mempunyai teman yang menjadi relawan panti asuhan. Dan bodoh sekali, Metha menggunakan itu untuk mendekatkanku dengan Bagus. Lagi.

Metha mengerling, memberi isyarat kepadaku. Aku mengangguk kaku, membenarkan.

Adalah Bagus yang memberikan umpan pertama agar aku bisa berkomunikasi dengannya, dan aku bersyukur untuk itu. Dia menanyakan kebenaran pernyataan Metha, aku kembali mengangguk.

"Kalau begitu, aku minta nomormu, Han."

Apa yang aku harapkan? Bagus menyimpan namaku dan menamai kontakku dengan nama My Bunny? Aku sadar sesadar-sadarnya, bahwa aku bukanlah seseorang yang layak disadari keberadaannya oleh Bagus.

Aku menyebutkan rangkaian angka yang aku hapal di luar kepala. Ironis. Aku sekelas dengannya, nomorku tidak pernah ganti sejak aku kelas satu SMA sampai sekarang. Dan kami sekelas terhubung di grup whatsapp. Tapi sudahlah. Mungkin ponselnya pernah rusak atau apa sehingga semua kontak yang disimpannya lenyap.

"Ini via wa bisa kan?"

Aku mengangguk sekali lagi. Metha sontak menyikutku, memaksaku untuk bersuara.

"I-iya. I-itu juga bisa via Line." Kataku lirih, tenggorokanku kering. Aku berdehem sebentar, kemudian menyedot air mineral dalam gelas di depanku.

Celakanya, aku tersedak bersamaan dengan satu teguk air yang mengalir ke tenggorokanku. Air itu masuk ke hidung, membuatku terbatuk-batuk. Metha segera mengusap punggungku. Semua orang melihatku. Aku melakukan kesalahan, lagi. Bagus pasti semakin membenciku.

Beberapa orang pelayat datang lagi. Ruangan semakin penuh. Metha menarik tanganku berdiri, berpamitan kepada semua orang yang disana, yang sebagian kami kenal saat SMA dan sebagian lagi mungkin teman Bagus saat kuliah.

"Ya sudah. Kami pulang dulu ya, Gus." Pamit Metha. Aku menganggukkan kepala, berpamitan juga.

Bagus mengiyakan dan mengucapkan terimakasih. Aku menunduk dalam-dalam. Malu. Aku juga merasa Bagus sama sekali tidak memperhatikan keberadaanku, hanya mengiyakan ucapan Metha. Jadi, sudahlah. Aku juga sudah ikhlas, memang selamanya aku tidak akan dilihat olehnya.

Mobil Metha diisi oleh suara Yura Yunita yang mengalun merdu. Kami bersama menyanyikan Cinta dan Rahasia secara bergantian.

Bukan kuingin merebutmu dari sahabatku

Suara Metha yang merdu bersahutan suara semberku. Baiklah. Suaraku jauh dibanding teman gilaku ini, suaraku jelek.

Satu demi satu lagu terputar secara acak, dan kami menyanyikan bersama. Yah, kami tinggal seatap tiga tahun. Aku hapal semua lagu yang pernah diputar oleh Metha, dan Metha juga hapal lagu legendaris-jarang update- yang mengisi laptop, ponsel, dan ipodku.

Aku juga tahu semua laki-laki yang dipacari Metha, yang hanya bertahan satu minggu, atau sampai satu tahun. Metha juga tahu aku jomblo abadi, yang sekian tahun hanya mencintai satu orang, Bagus. Yang hanya dekat dengan satu lelaki seumur hidup, Abim.

Metha memutar kemudi, berbelok ke pekarangan rumahku. Sebelum aku membuka pintu, dia menarik tanganku. "Hari ini adalah pintu, Han. Ini kesempatanmu. Kamu selalu bilang, nggak ada hal di dunia ini yang akan menyatukan Bagus dan kamu dalam satu frame. Ini adalah satu hal itu, yang bisa membuat kamu berurusan dengan dia."

"Tapi, Tha..."

"Usaha dulu, Han. Selama ini, perasaanmu selalu tergantung. Membuat kamu nggak membuka diri. Aku sebagai teman hanya mengingatkan, Han. Banyak orang yang menyukai kamu, tapi kamu hanya memperlakukan mereka ala kadarnya. Membuat mereka mundur, takut ditolak. Perjuangkan dia, atau lupakan sama sekali."

Jarang aku melihat raut muka serius Metha. Tapi kali ini, aku tahu kalau metha bersungguh-sungguh. Dan itu semakin membuatku takut.

"Iya, Tha. Iya."

"Eh. Serius ini. Awas aja kalau masih suka gugup di depan Bagus. Kayak anak TK mau diimunisasi aja."

"Apaan sih." Elakku.

"Tadi apa? Jawab satu kata aja kayak diinterogasi polisi. Payah. Sampai batuk-batuk nggak jelas." Metha melambaikan tangan, "Sudah, ya. Aku mau pulang. Mau marah-marah sama Rizky, masa aku kemarin dituduh selingkuh. Enak aja."

Metha memutar mobil, aku melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.

Satu pop up dari akun wa muncul, dengan nomor Bagus sebagai pengirimnya.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang