Aku dan Hidup Baruku

6 1 0
                                    

Abimanyu Saputra memang sejenis makhluk busuk penghuni Bikini Bottom. Baru saja aku pulang dari flatnya, dia malah mengirim chat yang memberitahukan kalau dia akan menjemputku. Entah apa urusannya, dia tidak memberitahu. Dasar sok. Kusumpahi jomblo terus.

Anugrahani: Nggak bilang urusannya apa, nggak usah jemput.

Abimaknyus: Nggak ada apa-apa. Aku cuma minta dimasakin. Lagi pengen masakan mama.

Oh. Ternyata bukan masalah penting. Aku sudah mengira ada apa-apa. Dia memang sering memintaku memasak untuknya. Abim bilang, masakanku mirip ibunya. Ya jelas beda, lah. Ibu Abim itu ibu rumah tangga idaman banget. Aku kadang minder kalau ke rumah Abim dan diajak masak.

Menjahili anak orang sebentar tidak akan membuat dosa, kan?

Anugrahani: minggu kemarin kan udah aku masakin, Bim.

Ya, aku tahu. Bukan minggu kemarin aku memasak makanan untuknya. Dua minggu lalu lebih tepatnya. Dia bukan orang yang rewel dengan makanan seperti anak kecil, tapi aku tahu satu makanan kesukaannya. Dia suka dendeng sapi. Itu loh, daging yang dibumbui dan dimasak dengan kelapa muda. Ibuku sering membuatnya, dan itu ueeenak.

Abimaknyus: itu udah 2 minggu. Pelupa.

Anugrahani: nggak mau yang aneh-aneh.

Abimaknyus: sayur daun singkong. Sama telur dadar.

Abimaknyus: telur dadarnya di kasih wortel, wortelnya potong kecil-kecil. Terus telurnya digulung. Dipotong2.

Abimaknyus: itu enak banget.

Permintaannya sederhana, mencari daun singkongnya itu yang susah.

Anugrahani: ogah. Itu masaknya gampang, beli daun singkongnya yang susah.

Abimaknyus: masakin, seminggu kutraktir. Aku janji.

Janji busuk. Tapi pada akhirnya, aku tetap kesana. Pergi ke pasar siang-siang, lalu memasak untuknya.

Aku memang lemah.

"Makasih, Ibu Peri."

Dan melihat seorang Abimanyu makan dengan lahap, aku bersumpah. Meskipun aku bersama Bagus, aku akan tetap menjadi peri untuk Abim.

"Bu Peri, nanti ke Holland beli kue ya?"

Demi palu ajaibnya Thor, geli banget mendengar Abim menyebutku peri. Aku bergidik, dia menyengir.

"Beli kue ke Belanda segala. Emang disini nggak ada?"

Dan otak sampah dan mulut bocor ini mendadak seperti mendapat pencerahan, ketika mendengar tawa lepasnya.

"Holland bakery astagaaaa Haniiii."

***
Aku baru tahu kalau nanti adiknya Abim datang ke Surabaya. Makanya aku disuruh masak aneh-aneh. Pasti permintaannya Tetuko. Adik satu-satunya itu ulangtahun katanya. Aneh, harusnya Abim yang pulang. Eh, ini adiknya yang repot kesini.

"Uko suka stroberi, Han." Tetuko--panggilannya Uko--adalah adik Abim dari mama tirinya. Anaknya kocak, pintar bergaul. Walaupun beda ibu, wajah mereka hampir sama. Mirip papanya. Sangat. Bedanya, hidung Abim mancung kelewatan. Khas arab turunan ibu kandungnya. Kalau Uko biasa saja hidungnya. Tingkahnya yang luar biasa.

Baru saja Abim menyalakan mesin motor ketika Uko bilang sudah sampai di flat. Aku sudah tahu kalau seperti ini, Abim akan melajukan motornya seperti angin. Aku langsung turun, menolak duduk di boncengan.

"Aku yang nyetir," kataku.

"Jangan. Kasian Uko kalau kita nggak cepet, Han. Sendirian disana. Aku yang boncengin ya?"

"Aku naik uber aja kalau gitu." Aku membuka aplikasi uber. Abim mengangkat tangan.

"Aku nyerah."

Dan ibu peri selalu menang.

Setelah naik motor dengan kecepatan 40 km/jam, kami sampai di flat Abim 20 menit kemudian. Kami mendapati adik kecil Abim duduk di sofa kecil di depan tv, sambil makan sayur daun singkong buatanku. Dia makan itu tanpa nasi, langsung dimakan di wadah belingnya, pakai sendok sayur. Mendengar langkah kami, dia langsung meletakkan makanannya. Kemudian berteriak nyaring.

"Mbak Han disiniiii?" Lalu dia menepuk-nepuk sofa sebelahnya, memintaku duduk dengan girang.

Mohon maklum kepada anak berusia 16 tahun ini. Dia masih kelas satu SMA, sedang labil-labilnya.

"Pantesan ada sayur enaaak, pasti mbak Han yang bikin, kan?"

"Abisin, Ko. Nanti kalau abis, mbak bikinin nasi goreng pakai suwiran ayam sama bawang goreng yang banyak." Kataku menepuk punggungnya.

Dia melanjutkan memakan sayur itu, tetap dengan sendok sayur. Kasihan, dia pasti kelaparan.

Abim datang membawa sendok, menyodorkan kepada adiknya. "Dateng tuh salim dulu sama Mas, sama Mbak Hani. Kamu tuh." Abim meletakkan sendok sayur di wastafel, lalu setengah berteriak dia bertanya, "Udah bilang mama belum kalau kamu udah sampai di Surabaya?"

Uko cuma menyengir, lalu menelepon ibunya.

Aku selalu suka interaksi Abim dan adiknya. Adiknya yang selalu bisa mencairkan suasana, dan kakaknya yang bertanggungjawab dan bisa diandalkan. Mereka rukun, dan jarang aku lihat mereka bertengkar.

Satu pop-up pesan WA muncul di layarku, dari Bagus.

Bagussatrio: dimana?

Anugrahani: di flatnya temenku. Kamu udah selesai kerja?

Kudengar suara ribut-ribut, lalu Uko bertanya dengan suara nyaring, "Mas Abi, dispensernya dimana sih?"

Bagussatrio: belum. Masih beres-beres.

Anugrahani: besok kesini kan?

"Disebelahnya kulkas." Abim tidak mau kalah, menyahut dengan suara tidak kalah nyaring.

Bagus: iya.

Aku menutup aplikasi chat, lalu membantu Abim menyiapkan kue. Kulihat Uko mencolek krim kuenya, Abim membiarkan.

Kami membawa kue berantakan--yang tadi krimnya sudah diacak-acak Uko-- ke meja depan televisi. Aku menyalakan lilin, Uko mengucapkan doanya lantang, "Semoga mbak Han cepet suka sama Mas Abi, ya Allah. Kasian bertepuk sebelah tangan terus. Semoga mbak Han mau jadi kakak iparku. Aamiin," katanya lalu meniup lilin.

Abim serta merta menoyor kepala adiknya. Aku langsung menyeletuk, "Waaah, kayaknya kamu kurang sholeh deh, Ko. Mbak Han udah punya pacar ini," kataku bangga.

Uko tetap memberikan potongan kue pertamanya, yang jelek itu, kepadaku. Untuk kakak ipar, katanya.

Tidak mau memberikan harapan palsu pada bocah baik ini, aku segera mengklarifikasi, "Aku sama Abim cuma temenan, Ukooo." Aku menoleh ke Abim, meminta dukungan.

Abim menyendok kue yang ada di pangkuannya, lalu menaikkan kacamatanya. "Jangan banyak-banyak makan micin, Ko."

Dan mereka berdua berdebat hebat sampai magrib. Aku pamit pulang, sudah seharian di flat Abim. Aku bahkan heran, kosku sendiri jarang kutempati. Pulang mengajar, sore. Tinggal teparnya, tinggal tidurnya. Kalau weekend, aku pacaran sama Bagus. Kalau nggak gitu ngerecoki Abim di flatnya. Gituuu aja.

Aku baru saja membersihkan diri ketika dering telepon yang ada di atas kasur mengalihkan pandanganku dari cermin. Dari Bagus.

Kami mengobrol seperti biasa, hanya pertanyaan singkat dan jawaban. Hubungan kami ini lebih mirip kuis berhadiah daripada pacaran, tapi aku senang. Perhatian kecilnya, dewasanya, dan cemburu kecilnya kepada kedekatanku dengan Abim membuatku semakin mencintainya.

Bagian yang paling kusuka dari percakapanku dengan Bagus hari ini adalah ketika aku menceritakan harapan Uko. Dia berkata kalem, "Kalau gitu, kenapa kamu nggak sama Abim aja?"

Tuh kan, cemburunya lucu.

Aku menjawab pertanyaannya dengan yakin. Dari hatiku yang paling dalam, "Nggak ah, aku kan cintanya sama kamu, Gus."

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang