Abimanyu Saputra Zuhri. Aku bertemu dengannya saat pertama masuk SMP. Dulu waktu SMP, aku dan Abim sama-sama makhluk pintar. Kami sering membicarakan pelajaran berdua, paling sering membicarakan fisika atau matematika.
Kami berteman baik bahkan saat kami di SMA, walaupun kami tidak satu sekolah. Dia bersekolah di kota, ngekos, pulang cuma sebulan sekali. Tapi kami masih sering bertemu saat dia pulang.
Dulu kami berjanji, kami akan kuliah bersama di Bandung. Kota impian semua orang. Aku mengambil di UPI, dan Abim di ITB. Kami janji, walaupun kami ngekos jauh-jauhan, kami masih bisa menjadi pasangan jomblo yang serasi asalkan tinggal di kota yang sama.
Kenyataannya, aku terdampar di Universitas Negeri Malang, dan Abim di ITS Surabaya. Ya sudah, finish.
Hujan mengguyur kota Malang dari subuh. Gerimis tidak berhenti sampai hampir maghrib. Aku masih berkutat dengan laptop, mengerjakan folder skripsi-finish-siapsidang-15 dengan semangat yang masih sama dengan saat mengerjakan folder skripsi-finish-siapsidang-1.
Oke, aku akui ada beberapa semangat yang mengendur, tapi aku berusaha.
Abim selalu mengatakan kepadaku, 'temanmu yang sudah sidang, dengan kamu yang belum sidang, akan mencapai hasil yang sama, dengan waktu yang sama. Kalian akan yudisium di tanggal yang sama, wisuda juga bareng. Jadi jangan kuatir.' Lalu, setelah mengatakan hal itu berkali-kali saat aku down, dia menelponku dan mengabarkan kalau dia sudah sidang skripsi. Sialan.
Metha sudah sidang sejak kapan tahun, sudah yudisium, tinggal wisuda. Dia sering pulang ke rumah, dan aku sendirian di kontrakan. Sudah sepuluh rim kertas aku gunakan, berbotol-botol tinta, dan ujian skripsi belum terlaksana.
Terkadang Abim meneleponku, katanya lagi ada bonus telepon dari operator. Tapi aku tahu, dia menelepon untuk menguatkan aku. Seperti saat ini.
"Iya. Ini tinggal nge-print aja. Cerewet banget."
Ya, dia sedang mengomeli aku. Katanya aku lambat.
"Lah, besok ini mau setor revisian, Bim. Aku tuh cuma sehari dua hari doang, nggak pernah sampai berminggu-minggu."
"Kayak aku dong, Han. Kamu udah ngerjakan lama, aku masih sibuk lomba-lomba. Sekalinya setor, langsung disetujui ujian."
"Taik kebo banget sih omongan kamu, Bim. Nih ya. Kalau sesuatu diperoleh setelah bekerja keras, hasilnya lebih manis, tahu!" Kataku sambil membuka penutup printer kasar. Tintanya habis, dan aku harus menyuntik lagi dan lagi.
"Jangan lupa makan. Banyak mahasiswa ditemukan mati di kos gara-gara kelaparan saking asyiknya ngerjakan skripsi."
"Ih, bicaranya.. Itu mulut apa pedal sepeda? Kalau pedal pengen banget aku genjot pakai kaki."
Aku terus mengomel, memarahi bicaranya yang seenak dengkul. Aku terus mengomel sambil membendel naskah skripsiku yang sudah selesai aku cetak.
"Ya sudah, maaf. Tapi aku bilang seperti itu supaya kamu jaga kesehatan, Han. Jangan terlalu serius. Dijalani pelan-pelan. Ada waktunya sendiri-sendiri. Nanti kalau ujian, aku bacakan surat Yasin supaya lancar. Terus aku ajak kemanapun kamu mau, biar otaknya seger lagi."
See? Dia memang teman terbaikku.
"Iya, Bim. Kalau aku sudah direstui sama ayahku pasti aku beri tahu. Tidak akan aku seperti temanku, katanya masih lama, kasih semangat, berlagak santai, tapi sidang duluan. Itu loh, temanku yang kuliah di Institut Teknologi Surabaya..."
"Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Haniiiiiiiiii..."
Aku tertawa ngakak, dia selalu geram jika ada orang yang salah menyebut kepanjangan kampus kesayangannya. Tanpa membalas klarifikasi Abim, aku mematikan telepon sepihak dan membayangkan wajah marah Abim kepadaku.
![](https://img.wattpad.com/cover/79110069-288-k785255.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Exhale The Past
ChickLitDi masa lalu, aku bertemu denganmu. Di masa lalu, aku menyukaimu. Di masa lalu, kamu mengacuhkanku. Di masa lalu, kamu menyakitiku. Aku melupakan perbuatanmu di masa lalu, tapi mengapa aku masih menyimpan rasa ini sampai sekarang?