Aku dan Jantungku

14 3 0
                                    

"Siap?"

Aku mengangguk. Setelah acara pamitan dan lain sebagainya, Toyota Rush milik Bagus melaju.

Apakah dia mengatakan sesuatu selama perjalanan? Tidak. Mirip stupa, tapi lebih tampan dan bisa bernapas.

Aku tahu tidak banyak yang berubah dari hubungan kami. Selepas kami meminta ijin untuk mengadakan pengajian di panti asuhan, hari ini aku dan Bagus, juga Viona berangkat ke panti yang diurus oleh keluarga salah satu temanku di kampus, Aya.

Hari ini bertepatan dengan empat puluh hari meninggalnya orangtua mereka. Bagus dan Viona, adalah akhir dari garis keturunan mereka. Kakek neneknya sudah tiada, dan kedua orangtuanya adalah anak tunggal. Aku tidak bisa merasakan penderitaan mereka, khususnya Viona, tapi aku turut sedih dengan keadaan ini.

Kami bertiga secara estafet menurunkan nasi kotak dari dalam mobil. Dan aku sudah menduga sebelumnya, pasti ini katering terbaik. Dengan masakan terbaik pula, katering milik nenek Metha.

Aya dan ayahnya menyambut kami di depan dengan sambutan yang ramah. Kami berbincang ala kadarnya, sembari menunggu anak-anak mandi. Sejenak aku ikut masuk bersama Aya, membantu memakaikan pakaian untuk anak-anak yang masih kecil.

"Jadi itu pendamping wisudamu?"

Aku menghentikan gerakku mengusapkan minyak telon ke perut Naufal, bayi berumur delapan bulan. Setelah menoleh satu detik, aku meneruskan menyapukan bedak ke tubuh bayi mungil ini.

"Ganteng, tuh. Pacar ya, Han?"

Aku memang tidak pernah menceritakan masalah pribadiku, apapun itu, kepada orang lain. Kecuali mereka mengetahui sendiri, seperti Metha. Aku percaya, Homo sapiens tidak akan bisa menjaga mulutnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, masalah pribadimu akan menyebar, lebih cepat dari wabah demam berdarah.

"Hmm, gimana yaaaa." Aku mencoba mengalihkan.

"Ngaku. Awas kalau jatuh cinta beneran."

"Pendamping wisudaku kan sudah jelas, Ay." Jawabku endhel, "Marcell Chandrawinata dong."

Aya memutar bola matanya jengah, aku terkikik. Dia seperti mau muntah, tapi aku tidak peduli. Hanya beberapa detik, dan pertanyaan legendaris itu terlontar. Lagi, dan lagi.

"Pernah jatuh cinta nggak sih, Han?"

Ganti aku yang memutar bola mata, pertanyaan sialan.

"Pernah dong, sama mas Marcell Chandrawinata."

"Sableng!"

"Muridnya Shinto Gendheng."

Lalu kami menyanyikan lagu intro serial laga kesukaan kami sewaktu kecil, dilanjutkan dengan intro serial Kera Sakti. Dan kemudian diinterupsi oleh suara cempreng adik Aya yang masih SD, mengatakan bahwa pengajian sudah siap.

Ayah Aya yang memimpin pengajian ini. Seperti biasa, membacakan yasin dan lain sebagainya. Tapi suasananya begitu dalam, entah karena yang membaca adalah anak yatim, atau karena apa.

Viona kembali menangis, mungkin teringat kenangannya dengan orangtua yang dicintainya. Bagaimanapun, ditinggal di usia remaja bukan sesuatu yang menyenangkan.

Bagus mengikuti pengajian dengan hikmat. Aku tidak bisa melihat wajahnya, karena laki-laki di depan dan perempuan duduk di belakang. Aku merangkul bahu Viona dan mengusapnya pelan, mencoba menenangkan.

Aku dan Aya membagikan nasi kotak kepada seluruh anak di sini. Melihat mereka makan dengan lahap, aku jadi ikut senang. Aku menatap buku yasin&tahlil di tanganku, merunut kejadian-kejadian yang mempertemukanku dengan Bagus dalam satu frame.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang