Hani, 2 SMA
Dunia terus berputar, hidup terus berjalan. Satu tahun sudah aku duduk di bangku yang katanya adalah masa keemasan manusia. Masa dimana banyak anak meniti tangga kesuksesan, menjalin pertemanan, tak jarang juga dunia dimana kita bisa terjun bebas ke dalam kenistaan.
Kelasku di kelas sepuluh adalah kelas dimana siswanya lebih menyukai pelajaran IPS daripada IPA. Yah, kecuali aku. Aku lebih suka exact daripada social. Hidupku seperti di neraka, aku tidak bisa benar-benar menjalin pertemanan.
Dan yay. Kelas ini adalah kelas idaman. Jika di kelas sepuluh aku tidak bisa berteman dekat dengan teman kelasku, aku bisa memulai lembar baru disini. Mencoba beramah tamah, menata diri agar memiliki teman. Jujur, kelas sepuluhku seperti neraka walaupun aku memiliki teman sebangku yang baik.
Kembali ke hari senin terbaik di hidupku. Aku mengeluarkan buku matematika supertebal dan buku tulis yang lebih mirip dengan buku administrasi kantor saking tebalnya. Guru matematikaku yang ajaib melarang kami menggunakan buku ukuran A5, dengan alasan kurang panjang dan kurang tebal sehingga sering ganti buku.
Metha mengucapkan salam dengan ceria dan meletakkan tas di sampingku. Metha adalah teman pertama yang aku punya di kelas dua SMA. Dia cantik, tapi tidak membedakan teman. Dia aktif di OSIS, dan aku hanyalah sebutir telur puyuh dibandingkan dirinya.
"Udah selesai PRnya, Han?"
"Latihan 2 sampai latihan 5?" Tanyaku balik. "Sudah." Kataku percaya diri.
Metha membelalakkan mata sipitnya tak percaya. Aku mengangguk bangga. Metha berbisik agak keras, "Latihan 2 sampai 8, Han."
Tamat sudah riwayatku. Alamat aku akan mendapatkan memar di pinggangku karena cubitan mematikan. Bel berbunyi, aku harap-harap cemas menanti pak Sutoyo datang.
Derap sepatu pak Sutoyo terdengar mendekati kelas kami. Jantungku bertalu-talu. Setelah mengucapkan salam dan memerintahkan kami untuk membuka PR, pak Toyo berkeliling memeriksa kami.
Aku membuka lembar demi lembar tugasku, sementara pak Toyo melihatnya. Sampai akhir latihan 5, aku membuka lembar kosong kulihat pak Toyo mengerenyitkan dahi, wajah keriputnya semakin berkerut menjijikkan.
"Latihan 6 mana?"
Dengan gemetar aku menjawab, "Saya tidak tahu kalau sampai latihan 8, Pak. Saya kira sampai latihan 5."
Sesuatu yang menyengat aku rasakan di pinggangku. Cubitan legendaris ini akhirnya aku rasakan. Aku tidak tahu harus senang atau sedih, karena sekarang aku resmi diakui menjadi siswa sekolah ini. Jangan katakan kamu siswa sekolah ini kalau kamu belum merasakan cubitan pak Toyo, kata mereka. Tapi akhirnya aku hanya bisa meringis sambil menggigit bibir bawahku. Rasanya pingganggku sobek dan berdarah.
"Bawa bukumu, kerjakan di pojok belakang. Tidak ada tempat untuk orang malas."
Aku malu, aku tidak pernah seperti ini. Aku selalu mengerjakan tugas. Dan lihat, hanya aku yang dihukum sekarang.
Aku duduk lesehan di lantai dingin sambil menggelar bukuku. Aku pasrah saja, mungkin sekali-kali aku harus merasakan hukuman, agar hidupku tidak sempurna-sempurna amat.
Aku baru saja menulis jawaban untuk nomor 1 latihan 6 ketika suara menggelegar pak Toyo terdengar. Aku mendongak, siapa yang belum mengerjakan lagi. Kalian tahu siapa? Bagus. Bagus yang itu. Iya. Bagus. Dia belum mengerjakan sama sekali. Alasannya bukunya hilang.
Sedetik kemudian dia ada di sampingku, tanpa membawa buku. Wajahnya datar. Entah mengapa, walaupun kami sudah saling mengenal hampir satu semester, Bagus tetap diam ketika bersamaku. Berbeda dengan orang lain. Dia akan hangat dan ramah. Dia ramah kepada semua temanku, kecuali kepadaku.
Aku mengangsurkan buku diktatku ke tengah, berbagi kepadanya. Dia menatapku sedetik, kemudian mengalihkan pandangannya ke jendela. Seolah kolam ikan dan pagar belakang sekolah lebih menarik daripada aku. Ya, aku akui memang tembok pagar sekolah lebih menarik karena grafitti yang ada di permukaannya.
***
"Coba di SMS, Han." Kata Metha suatu hari di kantin, saat Metha pertama kali mengetahui aku memendam perasaan kepada Bagus.
"Kayak nggak tahu Bagus aja. Dia itu entah kenapa terlihat membenciku." Jawabku putus asa.
Metha menyesap es kopi di depannya, "Coba deh aku tanyakan, tipe ceweknya yang seperti apa."
"Buat apa?" Tanyaku serius. Aku meletakkan sendokku ketika hendak menyuapkan sesendok nasi pecel ke mulutku, menatap Metha sepenuhnya.
"Hey. Kenapa ngelihat aku penuh cinta kayak gitu? Bisa dikira pasangan lesbian tahu!" Hardik Metha kepadaku.
Aku menunduk dalam, memainkan sedotan di jusku. "Entahlah. Ini terasa nggak benar, Tha. Kalau aku tahu seperti apa tipe perempuan Bagus, apa aku harus mengubah diri seperti keinginannya? Entah fisik atau kepribadian, sepertinya aku nggak mampu merubahnya."
Metha meremas tanganku, menguatkanku. Aku tersenyum, sedetik kuubah senyumanku menjadi cengiran, "Siapa sekarang yang bertingkah kayak pacar?"
Metha segera menepis tanganku dengan kasar. "Najis."
Esoknya Metha tetap berangkat telat seperti biasa. Dia langsung duduk, diam, kemudian merebahkan kepalanya di meja. Posisinya tetap seperti itu sampai jam istirahat.
Untung saja hari ini adalah jadwal biologi dan agama. Dua guru yang penyabar dan sedikit masa bodo kalau siswanya tidak memperhatikan. Semua boleh tidur, asalkan jangan ramai dan mengganggu konsentrasi teman sekelasnya. Yang akibatnya, semua orang tidur di kelas.
Bel yang berbunyi nyaring sebanyak dua kali menandakan jam istirahat telah tiba. Aku menggoyangkan bahu Metha untuk membangunkannya. Metha mengerjap sebentar, kemudian mengangkat kepalanya dan menyandarkan punggungnya di kursi. Metha yang biasanya cerewet ketika jam istitahat mendadak bisu.
"Han, coba duduk sini." Kata Metha sambil menepuk kursi di sebelahnya. Memintaku untuk duduk.
"Misal ya, Han. Misalnya." Lanjut Metha setelah aku duduk di sebelahnya. "Misalnya kamu adalah tipe ceweknya Bagus, apa yang akan kamu lakukan?"
Aku diam mematung. Tahu apa yang akan dikatakan Metha selanjutnya. Bagus tampan, tinggi, dan pintar. Dia anak seorang pejabat pemerintahan yang pastinya kaya raya. Mana mungkin dia tertarik kepada perempuan biasa sepertiku?
"Katanya, tipe cewek Bagus itu asal cantik." Lanjut Metha. "Aku tanya ke dia, bagaimana jika orang cantik itu jahat. Dia jawab tidak apa-apa. Yang penting dia cantik."
"Cantik versi dia apa?"
"Ramping, tinggi, wajahnya tirus, hidungnya mancung, matanya bulat, bibirnya penuh."
Aku seperti mengenali ciri yang disebutkan Metha. Ciri itu ada padanya. Metha adalah perempuan idaman Bagus.
Metha menyadarkan lamunanku,"Ada seseorang yang sangat cocok dengan kriteria Bagus."
"Ka-" -mu.
"Dia." Telunjuk Metha menuju ke satu arah. Ke luar kelas, telunjuknya mengarah ke gazebo. Dimana ada dua orang lelaki dan perempuan yang sedang tertawa bersama. Aku mengamati wanita itu. Teman sekelasku. Dia memakai pita merah kecil untuk merapikan poninya. Dia perempuan cantik. Tapi sayangnya dia sangat angkuh dan ketus, sampai-sampai dia tidak memiliki teman.
Aku kalah kecantikan dari si Pita Merah itu. Aku kalah telak dan menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exhale The Past
ChickLitDi masa lalu, aku bertemu denganmu. Di masa lalu, aku menyukaimu. Di masa lalu, kamu mengacuhkanku. Di masa lalu, kamu menyakitiku. Aku melupakan perbuatanmu di masa lalu, tapi mengapa aku masih menyimpan rasa ini sampai sekarang?