Aku dan Harapan Palsu

11 2 0
                                    

Anugrahani: Kita harus bicara.

Aku mengecek ponsel setiap dua jam sekali, setelah aku mengajar. Belum ada balasan dari Bagus. Demi Tuhan, aku mengirimnya hampir seminggu lalu, dan bahkan belum ada tanda-tanda pesan itu sudah dibaca.

Sampai saat bel pulang sekolah, pesanku belum dibalas. Kurang berengsek apa dia. Heran, kenapa aku sampai cinta dia.

Anugrahani: Belum dibales sama Bagus.  _'

Balasan Abim datang dengan kecepatan cahaya.

Abimaknyus: Yang kek gitu masih dipertahanin? Itu kamu aja yang bego.

Kampret Arab memang. Tapi omongannya benar.

Saat-saat seperti ini, aku benar-benar membutuhkan Metha. Dia satu-satunya orang yang mau mendengarkanku dengan baik, tidak menghakimi seperti Abim. Dia bahkan tidak mengatakan apa-apa, Metha hanya mendengarkan.

Kadang manusia hanya butuh didengar, bukan dijawab. Mungkin nanti malam aku akan menelepon Metha. Curhat.

Setelah sholat Ashar, aku memasukkan pola untuk membuka layar ponsel. Segera kutekan angka tiga lama.

"Haaaniii."

"Tha." Aku menggigit bibir. Baru saja sadar, bagaimana mungkin aku membicarakan masalahku dengan Bagus jika itu menyangkut dia. "Selamat ulangtahun, Thaaaa..."

Aku benci kebohongan. Sekarang aku berbohong.

"Hani jahat. Ulangtahunku masih lusa, Han."

Harus kuhela napas panjang, aku merasa sesak tiba-tiba. "Suka lupa, Tha. Jadi kesini kan?"

"Jadi. Besok jemput, ya?"

"Males."

Kumatikan sambungan dengan Metha. Aku lelah berlama-lama. Hatiku sedang berkabung.

Metha: Kampret. Ya udah. Aku godain bapak sopir taksi aja. Biar dibawa ke rumahnya.

Anugrahani: Jablay!

Metha sepertinya tidak sedang dalam mood bercanda. Buktinya, dia tidak membalasku. Biarlah. Semua orang punya sesuatu untuk dipikirkan.

Abimaknyus: Ikut aku nanti malem, Han. Ke Kenjeran.

Ini lagi. Hidupku memang dipenuhi makhluk pengganggu. Nggak Metha, nggak Abim, nggak Bagus, Semuanya bikin pusing. Tapi memang seperti ini Abim. Katanya banyak gebetan, tapi yang diajak kemana-mana tetap aku lagi, aku lagi.

Anugrahani: Mager, Bim.

Abimaknyus: Patah hati sampai segitunya.

Aku patah hati, jelas. Aku sangat patah hati sampai rasanya aku tidak ingin percaya kepada semua manusia berjenis laki-laki. Atau mungkin bukan patah hati, kecewa lebih tepatnya.

Siapa yang tidak kecewa mengalami hal seperti aku. Bagus baik, sangat baik kepadaku. Dia tidak pernah menyakitiku. Dia penyabar, penyayang, dan selalu menuruti keinginanku. Tapi kejadian tempo hari membuat bayanganku tentang Bagus menguap. Bagus yang pemabuk, kasar, dan tidak menghargai wanita. Dan dia yang tidak menghubungiku untuk sekedar memberi penjelasan.

Aku muak dengan semua tingkahnya. Dan aku tidak mau berlarut dengan hubungan tak jelas ini. Hubungan ini hanya satu arah. Aku yang mengayuh sampan ini, dan dia hanya duduk diam. Atau malah, ia tidak mau satu sampan denganku. Dia ingin ini disudahi.

Baiklah. Memang itu penyelesaian terbaiknya. Dan aku tidak akan membuang waktu lagi. Besok long weekend, libur hari raya nyepi. Ibu tidak menyuruh pulang, jadi hal itu tidak perlu dilakukan.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang