Me and My True Best Friends

11 1 0
                                    

Ada dua orang yang mengikuti tes wawancara, salah satunya aku. Singkat cerita, aku berhasil mengerjakan tes dan melakukan microteaching dengan baik sehingga bisa sampai pada tahap terakhir ini.

Wawancaranya sangat mudah, lebih mirip sesi curhat jaman kuliah dibanding wawancara kerja di sekolah pesantren yang lumayan bagus di Surabaya ini. Entahlah, semua begitu mudah. Mungkin ini berkat dukungan ayah dan ibuku, mengingat setiap menit mereka menerorku dengan telepon, sms, dan pesan whatsapp.

Bicara tentang telepon dan chatting, Bagus semakin sering menghubungiku. Mulanya hanya menanyakan hal-hal seputar pemesanan buku yasin tahlil, sovenir, dan lain sebagainya. Tapi akhir-akhir ini dia seperti mencoba berkomunikasi secara baik denganku, yang mungkin aku balas dengan aneh karena aku bingung harus apa. Yah, seperti kali ini.

Bagus: Inget kita waktu jatuh berdua itu? Kuat banget kamu. Nggak kelihatan sakit sama sekali.

Anugrahani: Iya. Soalnya aku ingin kamu puji kuat|

Aku menghapus tulisanku, berkali-kali. Sampai akhirnya aku menulis balasan yang lebih manusiawi.

Anugrahani: Sebenernya remuk, Gus.

Inilah yang aku benci saat berbicara dengan Bagus. Aku berubah menjadi orang lain. Aku tidak nyaman apa adanya. Aku merasa harus menjadi orang yang diinginkan Bagus, supaya dia melihatku. Berbeda ketika aku berkomunikasi dengan orang lain, atau dengan Abim, aku bisa menjadi diriku sendiri, tidak peduli mereka suka atau tidak.

"Aku kadang ragu, Mbak. Dekat dengan kak Abi sudah satu tahun, tapi tidak ada tanda-tanda ditembak."

Aku mengalihkan pandanganku dari layar ponsel, fokus pada perkataan gadis yang duduk di depan televisi bersamaku ini. Selama tiga hari aku menginap di rumah gebetan Abim, aku sering mendengarkan curhatan Bitha tentang ketidakpekaan Abim. Aku menyimpulkan Bitha benar-benar menyukai Abim, tapi Abim hanya menanggapi ala kadarnya.

Aku percaya, laki-laki mengetahui apa yang dirasakan perempuan. Aku tahu mereka adalah makhluk yang peka, namun berpikir logis. Jika perempuan mengetahui ada laki-laki yang menyukainya, maka dia akan mempertimbangkan perasaan lelaki itu, kasihan. Tapi jika laki-laki tahu ada wanita yang menyukainya, dia akan menjauh, tidak berniat memberi harapan palsu.

Ngomong-ngomong, aku tahu pernyataan itu dari Abim sendiri.

Jadi aku berkesimpulan, bahwa Bitha memiliki cinta bertepuk sebelah tangan. Sayang sekali, wanita secantik dan selembut Bitha menyukai laki-laki seabsurd Abim. Cintanya tak berbalas, pula.

Sedikit kasihan pada Bitha, aku bertanya kepadanya apakah dia pernah berpacaran atau tidak. Dia menjawab tidak. Demi Tuhan, Abim keterlaluan. Dia hanya memanfaatkan gadis manis ini demi kesenangan. Seperti saat ini, Bitha chatting dengan Abim, melupakan tugas-tugas kuliahnya.

"Mbak, kak Abi itu papanya masih ada nggak sih?"

"Masih kok, Bitha. Mama papanya ada."

Aku merasa tidak perlu menceritakan status 'mama tiri' kepada gadis ini. Bagaimanapun, itu adalah urusan Abim. Aku tidak berhak memberitahu apapun, biar Abim sendiri.

"Cerita dong, Mbak. Aibnya kak Abi."

"Nggak ah, Tha. Bisa digorok Abim aku nanti. Menurunkan harga diri, mempersuram masa depan."

Bitha tertawa. Tawanya Subhanallah. Tertawanya itu tawa bidadari, merdu. Rejeki Abim gedhe kalau sampai punya istri Sabitha. Rejeki Bitha yang jelek, dapat suami semacam Abim.

"Eh, Mbak. Pengumumannya kapan sih?"

Besok. Pengumumannya besok. Tadi sewaktu wawancara, aku diberi penjelasan mengenai kontrak kerja, gaji, kewajiban, dan lain sebagainya. Aku tidak mempermasalahkan gaji, karena gaji yang ditawarkan melebihi bayanganku. Tidak heran, yang sekolah disana anak orang kaya raya semua, SPPnya mahal, gedungnya bagus, muridnya cantik ganteng, gurunya juga kompeten. Sebanding. Yang aku permasalahkan adalah pakaian. Aku harus mengenakan jilbab lebar.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang