Abim menjemputku di Stasiun Gubeng. Dia duduk di ruang tunggu yang seharusnya digunakan oleh mereka yang akan berangkat. Kepalanya terangkat, sesekali menaikkan kacamatanya yang melorot. Tepat saat itu, dia melihatku. Aku melambaikan tangan malas, dia mengerenyit.
"Kenapa lagi?"
Aku menggeleng sembari memijit pangkal hidung. Abim mengangkat sebelah alis, sangat jelek menurutku. Kalau yang melakukan gestur itu Bagus, pasti menawan. Tidak, tidak. Bagus itu menawan dalam semua tingkahnya. Apa boleh buat, dia brengsek seberengsek-berengseknya. Ah, kok Bagus lagi.
Kukatakan padanya bahwa aku mabuk darat. Dia menaikkan kacamatanya yang melorot, lalu tanpa bicara dia mengambil alih tas di pundakku.
Langkahnya pelan, seperti menungguku. Dia menyeletuk, "Untung aku bawa mobil, Han."
Memang hanya menunggu waktu bagi Abim untuk membawa mobil ke Surabaya. Aku bahkan heran dia bisa setahan ini kemana-mana naik motor selama lima tahun.
Aku mengamati mobil keluaran lawas di depanku. Catnya masih mulus. Ada lambang Toyota di depan, dan kuamati di bagian belakang ada tulisan Corolla. Mobil ini tua, cocok dengan selera Abim yang aneh.
"Aku sebenernya nggak mau bawa mobil, tapi mama khawatir. Katanya banyak operasi polisi. Aku kan nggak punya SIM C. Punyanya cuma A." Jelasnya. Padahal aku tidak bertanya.
Abim membuka laci dasboard di depanku, mengeluarkan kotak kecil P3K. Dia menyerahkan padaku sebungkus koyo hangat dan minyak angin roll on.
"Nggak mau. Itu bekas kulit kamu." Kataku menggodanya. Dia memberengut.
"Sok banget sih. Sisa makanku juga dimakan." Katanya, masih bersungut-sungut. "Pakai. Kalau kamu nggak mau, aku yang makein. Mau kamu kubuka bajumu?"
Aku menggaitkan jariku ke ujung kaos yang kupakai. Hampir aku membuka perutku di depan Abim. Aku menoleh padanya dengan tatapan sengit. "Jangan lihat." Seruku.
Abim melempar pandangan ke luar jendela, kudengar dengusan kerasnya. "Perut buncit gitu apanya yang mau dilihat?" Gerutunya.
Kulihat perutku, rata kok. Orang kecil pendek begini, mana ada perut buncit.
"Itu salonpasnya ditempel di pusar. Biar anget."
Aku membuka lagi kaosku. Nggak mabuk darat sama sekali padahal, tapi daripada ditanya macam-macam mending aku bohong saja. Ini kan bohong putih.
"Udah nih. Jalan, Bim."
Aku tahu dia tidak bahagia membawa mobil. Dulu sewaktu SMA, Abim dipaksa membawa mobil ibunya. Supaya aman, katanya. Mobilnya bagus. Jaman dulu, mobilnya sudah Yaris. Padahal mobil bapakku waktu itu cuma Kijang Grand Xtra, yang tua, yang kursi belakangnya hadap samping kayak angkot.
Namun Abim tidak mau memakainya. Dia malah naik angkot kemana-mana. Ke SMA-ku, jemput aku naik angkot, terus nebeng motorku. Dia bilang mobilnya terlalu dingin, tapi aku tahu dia tidak mau menyombongkan diri.
"Ini aku beli sendiri loh, Han." Pamernya.
"Pakai uang papamu? Ya sama aja." Cibirku.
"Eh, enggak. Ini uangku bulanan ditambah menang lomba-lomba. Lah mama tuh aneh coba. Aku masa disuruh bawa yang Captiva, mobil gede gitu susah parkirnya."
"Berantem?"
Dia tersenyum, manis sekali. "Mama itu baik, nggak pantes aku membangkang. Kamu tahu kan kalau mama itu... ."
"Ya." Potongku. Aku tahu maksudnya. Orang yang disebut mama olehnya bukanlah ibu kandungnya.
"Nah. Itu. Papa bilang mama berusaha keras nggak membedakan aku sama Tetuko. Tapi sifatku sama Uko kan beda.
"Jadi aku bilang ke mama, aku mau bawa mobil yang aku mau. Inilah dia. Mobilku."
Aku tahu, ini berat untuknya walaupun sudah bertahun-tahun. Aku kehilangan Bagus, tapi dia kehilangan ibunya. Maka, tidak tepat rasanya jika aku mengeluhkan apa yang aku rasakan saat ini.
"Han, gimana urusan kamu sama pacarmu? Udah beres?"
Aku lupa bahwa Abim mengenalku seperti laut mengenali air yang bermuara padanya. Bahwa Abim bisa membacaku dalam sekali lihat. Dan Abim bisa saja membuatku nyaman bercerita walaupun aku sama sekali tidak ingin menceritakan masalahku kepadanya.
"Kacau, Bim,"
"Mau cerita?" Tanyanya tetap dengan pandangan lurus ke jalan di depan kami.
Aku menggeleng cepat. "Masih di jalan, nanti aja di kosku--atau flatmu?"
Bercerita kepadanya saat ini hanya akan membuatku hancur. Maka, aku mengatakan padanya untuk pergi ke mini market. Aku ingin masak sepuasnya.
***
Mungkin Marinka dan Farrah Quinn mengalami patah hati sepertiku dulu, lalu bisa memasak dan terkenal seperti sekarang. Aku dan Abim memasak gila-gilaan. Tiga kilo ayam kampung yang digoreng dengan bumbu rahasia keluarga Abim--hasil video call dengan mamanya--, kolak pisang dan labu dengan banyak es batu kesukaan Abim, dan tumis kangkung yang cukup untuk kendurian lima belas orang.
"Besok kamu kerja?"
Aku berdehem mengiyakan, masih sibuk dengan mengupas bawang. Abim sendiri masih sibuk menyiangi kangkung sambil menonton tv. Aku tidak mau menyiangi kangkung karena kelihatannya saja yang banyak, nanti pas ditumis kempis tinggal sedikit.
"Han, ini daritadi separuh aja belum sih. Kamu tambah ya kangkungnya?"
Aku pernah membayangkan seperti ini. Bukan dengan Abim, dengan Bagus. Aku membayangkan tinggal di rumah kecil, flat kecil seperti ini juga tak apa. Hanya berdua. Bagus membantuku memasak pagi hari saat liburan seperti ini. Dia yang mengupas atau menyiangi sayur, bisa juga memotong daging. Lalu aku menyiapkan bumbu, bisa menggiling atau mengiris. Tepat seperti kegiatan kami sekarang.
Itu semua bisa terjadi hanya di anganku. Bagus tidak pernah menginginkanku. Dia menginginkan Metha sejak dulu hingga melakukan segala hal untuk mewujudkannya. Dia menginginkan temanku, bukan aku. Bagus ingin anaknya dilahirkan oleh Metha, bukan olehku.
"Han, kangkungnya udah. Terus diapa... astaghfirullah, Hani. Kenapa nangis?"
Abim menyentakkan pundakku, aku berbalik, menubruk dan memeluknya erat.
Tangisku tumpah di dadanya, entah berapa lama. Yang jelas, aku merasa kesemutan dari tangan sampai ujung kaki sebelum Abim membimbingku menuju sofa di depan tv.
Abim mengelus puncak kepalaku, aku bersandar di dadanya dengan airmata dan ingus yang meluber kemana-mana. Tangisku tumpah ruah, begitupun ceritaku tercurah. Sesekali Abim meletakkan dagunya di puncak kepalaku, sembari mendengar ceritaku.
Aku hanyalah gadis bodoh buta hati, yang mengira hidup di negeri dongeng.
![](https://img.wattpad.com/cover/79110069-288-k785255.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Exhale The Past
ChickLitDi masa lalu, aku bertemu denganmu. Di masa lalu, aku menyukaimu. Di masa lalu, kamu mengacuhkanku. Di masa lalu, kamu menyakitiku. Aku melupakan perbuatanmu di masa lalu, tapi mengapa aku masih menyimpan rasa ini sampai sekarang?