Aku membereskan kamar kosku yang baru aku tempati hari ini. Rasanya melegakan. Aku sudah bisa jajan dengan uangku sendiri. Tanpa bantuan orangtua.
Ngomong-ngomong, Bagus yang membantuku pindahan kesini. Aku tidak meminta, tapi dia memaksa. Aku, Metha, dan Bagus, ke Surabaya mengantarkan aku pindahan dengan barang yang tak seberapa.
Metha sebenarnya ingin menginap sehari di kosku, memastikan aku segera menata kamar sehingga layak ditempati. Setengah memaksa, aku menyuruhnya pulang. Akhirnya dia mau, duduk cemberut di kursi depan sambil melambaikan tangan.
Segitu cintanya, Metha menitipkan aku kepada Bitha, yang sekarang menjadi teman satu kosku.
Abim datang membawa martabak cokelat keju malam harinya, saat aku masih menonton televisi di kamar Sabitha. Kamarku masih berantakan, jujur saja. Masih malas berkutat dengan segala tas dan koper, juga kardus yang berisi buku serta novelku.
Oke, aku jelaskan sekali lagi. Rumah kos ini sangat sesuai dengan keinginanku. Hanya kamar-kamar, bukan kamar di dalam rumah seperti kos kebanyakan. Kamar langsung menghadap ke luar, halaman dengan air mancur dan batu-batu kecil yang ditata rapi. Semua kamar memiliki kamar mandi dan teras sendiri, sehingga bisa menerima tamu di depan kamarnya. Cocok kalau ada cowok ngapel malam Minggu, duduk di teras makan pisang goreng berdua, sambil melihat air mancur di depan kamar. Cukup membuat adem ayem.
Tipe kos seperti ini sangat memungkinkan penghuninya individual, dan itu malah membuatku senang.
"Bitha, keluar sini. Ada martabak nih." Seruku dari luar. Sepertinya Abim sudah mengenal satpam di depan kos, melihat dia bercakap-cakap dengan akrab sebelum aku mempersilakannya duduk.
Bitha keluar dengan baju terusan rumahan yang tadi ia kenakan, plus jilbab! Ya Tuhan, solehahnya bikin gedeg-gedeg. Bitha mengucap salam sambil senyum kecil, tapi mukanya sudah seperti udang rebus. Wajah minta dihalalin.
Abim yang tahu Bitha sudah seperti itu, hanya menjawab ala kadarnya, tanpa ingin mengajak ngobrol lebih lanjut. Begitu pula saat Bitha mengajaknya mengobrol, cuma ditanggapi sekedarnya. Benar-benar tidak menghargai. Abim fix minta ditabok.
Aku yang semula cuek sambil makan martabak manis, mencoba mencairkan suasana. Setelah itu, Abim dan Bitha bisa bercanda seru. Akhirnya aku yang jadi kambing congek, mereka ngobrol santai, membicarakan UKM yang akan menampilkan pagelaran drama musikal.
Tidak apa, martabak masih banyak, dan aku masih bisa menghabiskan ini sendirian.
"Laper banget kayaknya, Han." Nyinyir Abim setelah lama mengacuhkan aku, sibuk ngobrol sama adik bidadarinya.
"Doyan ini, kalo laper nggak ganas gini, Bim."
"Makannya woles aja dong, Han. Itu Bitha baru makan satu, kamu udah habisin semuanya."
"Sikampret."
Aku meraup satu martabak. Dengan cepat, secepat cahaya, aku menjejalkannya ke mulut nyinyir Abim. Biar, dia yang membelikan, dia yang memakan. Biar dia bintitan sekalian.
Suara Simpleplan yang mengumandangkan lagu jetlag datang dari ponselku. Aku segera berlari ke dalam kamar. Bagus menelepon.
"Halo."
"Iya, Gus."
"Haniiiiii." Suara cempreng menginterupsi. Pasti suara Metha.
Jadi mereka belum sampai rumah.
"Sudah sampai?"
"Ini lagi makan di Mojoagung." Kali ini Bagus yang menjawab.
Aku diam, bingung merespon apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exhale The Past
ChickLitDi masa lalu, aku bertemu denganmu. Di masa lalu, aku menyukaimu. Di masa lalu, kamu mengacuhkanku. Di masa lalu, kamu menyakitiku. Aku melupakan perbuatanmu di masa lalu, tapi mengapa aku masih menyimpan rasa ini sampai sekarang?