Chapter 4 : Pizza Please?

601 87 8
                                    

A.n. Just wanna say, Thank you very much for 1K readers!! I appreciate it so much. Makasih waktunya buat baca, votes, dan comments cerita abstrak ini.

Kali ini aku akan double update sesuai janjiku di part sebelumnya, so.. jangan lupa votes and comments yaa!! Xoxo. (:

[Short Re-Chapt]

Tok Tok~

Baru saja aku selesai mengeringkan tanganku, kurasa pintuku tengah diketuk. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlarian untuk membukakan pintu, mengetahui siapa yang ada dibalik papan kayu itu.

Tapi, oh... hal bodoh kembali terjadi...

Dihadapanku hanya berdiri Eleanor yang tengah terpaku menatap sahabat pirangnya yang kini sedang mengobrol dengan 'mesranya' dengan seorang lelaki ikal, dan kini membuatku ikut terpaku menatap keduanya.

Sebentar, aku mengenal lelaki ikal itu. Yea, lelaki ikal sialan.

Jangan sampai ia merebut Cara menjadi pacarnya. Aku sebagai sahabat sehidup-semati Cara takkan pernah menyetujui mereka. Takkan pernah—camkan itu.

Aku berdeham dengan keras, memberi kode untuk keduanya. Akhirnya mereka sadar juga kalau mereka berdua sedari tadi tengah ditatap oleh kedua pasang mata milikku dan Eleanor.

Gadis blonde itu akhirnya mengucapkan sesuatu—yang tak dapat kujangkau dari tempatku berdiri—pada lelaki ikal tersebut.

Lelaki ikal gila itu merespon ucapan Cara dengan membelalakkan matanya seolah ingin copot dari tempatnya, tak kalah dengan rahangnya yang kini jatuh menganga.

Tak peduli dengan ucapan Cara kepadanya, tapi percayalah wajahnya benar-benar bodoh. Bodoh layaknya ia baru saja mengetahui bahwa gadis cantik didepannya itu adalah penyuka sesama jenis. Ya, aku tahu itu tidak mungkin tapi wajah lelaki ikal itu kuprediksikan akan seperti itu jika hal tersebut benar-benar terjadi.

Aku hanya cekikikan tanpa ampun membayangkan imajinasiku yang telah kelewat batas itu, lalu berjalan memasuki kamarku disusul dengan Eleanor dan Cara yang menatapku dengan sorot heran.

Mereka pasti mengira aku sudah tak waras karena tertawa tanpa sebab, biarlah.

Aku mendaratkan bokongku di lantai beralaskan dengan karpet bulu, berdampingan dengan Cara. Aku menyandarkan punggungku pada dipan kasur.

Eleanor berjalan ke dapur lalu membuka kulkas. Kurasa ia akan kecewa karena tak ada lagi makanan tersisa di dalam kulkasku.

Sebenarnya tadi sepulang sekolah aku telah berniat untuk membeli makanan cepat saji, tapi aku lupa karena terlalu kelelahan.

Aku tak terbiasa membeli bahan makanan. Jujur saja, aku tak bisa memasak—kecuali memasak air. Sungguh memalukan bukan? Salahkan saja ibuku tak pernah megajarkanku memasak. Oh,, aku anak durhaka.

"Disini benar-benar tak ada makanan, Thompson?" Eleanor menutup kembali kulkas dengan tampang pasrah.

Aku hanya menggeleng dan tersenyum lebar kepadanya.

"Ini bukan lelucon, Amy."

"Aku sama sekali tak berniat melucu, Ele..", aku terkekeh pelan.

Eleanor menyipitkan matanya padaku, "Ya, tapi kau terlihat tak yakin."

Dia kira aku berbohong padanya bahwa tak ada lagi makanan tersisa? Yang benar saja.

"Bagaimana kalau kita delivery pizza saja? Aku lapar." Tanpa persetujuan kami, Cara segera mengetikkan nomor telepon delivery pizza dan menaruh iPhone-nya tepat ditelinganya—dia hafal, okay?

Night Changes™ // h.s.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang