Chapter 47 : Hesitation

151 18 3
                                    

[Short re-Chapter]

Setelah sekian lama, akhirnya aku mendengar ia membuka kunci pintu kamarnya, kemudian menopang daun pintu kamarnya dengan lengannya. "Bodoh, kenapa kau nekat mencariku, huh?"

Aku melipat kedua tanganku, "Sebenarnya pun aku tak nekat mencarimu atau bahkan bertemu denganmu. Tapi, aku ingin kau mengembalikan tasku. Dan ingin mengembali—" Ucapanku terpotong olehnya.

Ia terkekeh sambil menatapku dari ujung kaki hingga ujung helaian rambutku. "Oh, ternyata kau lebih mementingkan tasmu dari pada diriku."

Aku tertohok, "Tentu saja, kau juga lebih memperdulikan gengsimu dari pada diriku, hm?"

+++

Harry terdiam, menatap dalam mataku, sedetik kemudian membuang pandangannya dari padaku.

Aku melihatnya, matanya melukiskan rasa kekecewaan. Namun, ini bukan saatnya untuk meladeni perasaan itu. Aku sungguh memerlukan tasku dan segala isinya, serta mengakhiri pertengkaran tanpa alasan ini.

Aku membuang nafasku perlahan. "Baiklah Harry, aku tak ingin lagi adu mulut ataupun bertengkar denganmu. Jika kau ingin aku pergi dari hidupmu, aku akan melakukannya. Mari kita jaga jarak satu sama lain."

Ucapanku memang tak selaras dengan keinginanku. Sejujurnya, aku sangat rindu kenangan bersama lelaki ikal menyebalkan ini. Walaupun kami hanyalah sebatas teman bercerita. Tapi, aku merasa ini memang adalah akhir diriku dengannya. Aku tak ingin terus merasa bersalah kepadanya, dan kukira begitu pula dia.

"Ini, kukembalikan iPhone yang dulu kau berikan padaku. Aku sungguh-sungguh berterimakasih kepadamu, kepada semua hal yang telah kau beri padaku. Aku benar-benar menghargai itu." Aku mengulurkan tanganku, menampilkan kotak iPhone yang segelnya telah terbuka.

Harry tersenyum terpaksa, "Sebentar," ucapnya sebelum dirinya berbalik, pergi dari hadapanku.

Tak lama kemudian, ia kembali berdiri di depanku, dengan tasku yang masih utuh berada di lengan kanannya. Ia mengembalikan tasku, dan akupun mengembalikan kotak tersebut.

"Terima kasih, Harry." Aku melukiskan paksa senyumku yang terakhir kalinya kepada Harry. Ia pun berbuat demikian.

Aku segera berbalik ketika kusadari aku tak dapat lagi menampung air mataku. Pertengkaran ini sudah berakhir, bukan? Tapi mengapa aku tidak merasa lega?

+++

Aku terbangun dari tidurku, menyadari bahwa cahaya matahari telah lama menyinari kamarku. Dengan segera, aku mandi kemudian memilih bajuku, mengenakannya, dan menilai penampilanku di cermin. Setelah itu, aku pergi menuju café tempat kerjaku.

Sesampainya di sana, aku segera disapa oleh Arthur. Seperti biasa dia memelukku layaknya telah tak bertemu bertahun-tahun. Aku hanya menggelengkan kepalaku melihatnya berlaku seperti itu.

Setelah aku menyapa Olivia dan para karyawan di sana, aku pun segera masuk ke ruangan ganti. Aku mengganti pakaianku dengan seragam kerja, kemudian mulai bekerja seperti biasanya.

Jarum jam telah menunjukkan angka empat sore, waktuku sudah selesai. Akupun segera berganti pakaian dan bersiap untuk pulang. Pekerjaan hari ini tak berbeda dengan hari-hari lainnya, tapi aku merasa lebih hambar. Berulang kali aku mendapati diriku menghela nafas panjang di tengah waktu kerjaku. Seperti ada sesuatu yang mengganjal, tapi aku meyakinkan diriku bahwa ini tidak berhubungan dengan persoalan yang telah berlalu kemarin.

"Sepertinya kau sedang kurang baik hari ini?" tanya Arthur seraya menepuk pundak kiriku.

Aku terkesiap, apakah sebegitu jelasnya air wajahku ini ya? "Tidak, aku baik-baik saja.. Aku hanya... sedikit kelelahan."

Night Changes™ // h.s.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang