Chapter 17 : Accompany

354 55 5
                                    

[ Short re-chapter]

"Bodoh, tolong ambilkan obat-obat di rak itu! Biarkan aku yang mencarinya sendiri!"

Aku menyatukan alisku. Apakah ia baru saja memintaku mengambilkan obat?

"Sayang, tolong ambilkan obat di dapur!"

"Dasar tak berguna!"

"..aku tak pernah mencintaimu!"

Rekaman trauma masa lalu dalam pikiranku kembali berputar, aku tak bisa menahannya.

"..Zayn."

"Zayn?" Tanya lelaki ikal itu heran, membuatku membuyarkan lamunanku.

+++

Oh, sialan!

"T-tidak. Bukan apa-apa." Ucapku terbata-bata.

Harry melirikku, menaikan salah satu alisnya.

"Maksudku, tadi aku hanya menggumam. Ah, lupakan saja." Ucapku diikuti senyum canggung padanya. "Tunggu, tadi kau menyuruhku untuk apa?"

"Tak salah lagi kalau kau ini memang sungguh tuli..." Ejeknya ketus. Ia menggelengkan kepalanya pelan.

"Hei, rupanya kau juga tuli! Aku bertanya, kau menyuruhku untuk melakukan apa, tuan?!" Balasku tak mau kalah dengan menekankan ucapan akhirku.

Ia menatapku sinis lalu menunjuk salah satu rak bertuliskan 'tempat penyimpanan obat'. "Cepat ambilkan kotak obat di rak itu, bodoh!"

"Huh, baiklah. Tunggu disini."

Pun, aku segera melangkah, meninggalkan tempat dudukku yang nyaman dan mendekati rak tersebut. Lalu mengambil kotak yang berisi penuh dengan berbagai macam obat-obatan.

Tanpa berpikir panjang, aku menyerahkan kotak tersebut pada Harry. Lalu aku menarik tempat dudukku dan mendaratkan bokongku di atasnya kembali.

Ia menerima kotak itu dengan cepat, mencari apa yang ia butuhkan tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Aku memutarkan kedua bola mataku. Apakah tak bisa, sedetik saja, dia mengucapkan terima kasih? Dasar lelaki tak tahu sopan santun!

"Sama-sama." Ucapku jengkel seraya menghembuskan nafasku kasar.

Kemudian lelaki ikal di hadapanku hening sejenak—menghentikan aktivitasnya, menoleh padaku.

"Ha?" Sedetik setelahnya, dia mengalihkan pandangannya dari padaku dan melanjutkan kegiatannya mencari obat pereda nyeri—analgesik.

Ingin sekali diriku menghantam batang hidung nan mancungnya itu, serius.

"Ah, akhirnya ketemu juga!" Serunya girang.

Ia menaruh kembali kotak obat tersebut di sisi ranjangnya, sementara ia meminum obatnya.

Aku menatapnya malas. "Sudah baikan?"

"Bodoh sekali! Ku beri tahu ya, waktu kerjanya pasti satu sampai dua jam lagi! Sekarang masih sakit, nih—apalagi kalau di pegang." Ceracaunya tak jelas seperti anak kecil sambil mengelus perutnya.

Merasa geli dengan ucapannya, aku ikut mengelus perutnya itu hingga ia mengerutkan keningnya, kesal dan menyingkirkan tanganku dari padanya.

"Ih!" Rengeknya.

Aku mengernyit, heran. Ia menatapku lalu mengernyit dengan pandangan tak kalah keheranan.

Dari situ aku menjadi agak curiga. Apakah lelaki ini benar-benar sakit perutnya? Ia sama sekali tak menjerit, padahal katanya sakit.

Night Changes™ // h.s.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang