Suara ketukan di pintu membuat Karen menoleh, lalu melangkah kearah pintu sambil membenarkan handuknya model jas bewarna putih, cukup besar untuk menenggelamkan tubuhnya yang ramping.
"siapa?" dia berharap suaranya tak terdengar seperti orang baru saja menangis hebat.
"Ando."
dia membuka pintu, tepat ketika pria itu menatapnya, dan langsung membuang muka. "Pakaian lo mana?"
"Gue gak sempat kekamar sendiri, bos."
"Steven gak pinjemin lo baju?"
Ando menoleh ketika Karen menunduk sambil menggeleng pelan. Sambil mendesah pelan dan melirik kiri – kanan, dia menarik masuk kedalam kamar dengan menggenggam tangan Karen, lalu mengunci pintu. "Ada masalah apa?"
Detik kemudian, dia sudah berada dalam pelukan Ando. membasahi kemeja mahal pria itu dengan air mata dan rambutnya yang masih menetes basah, serta menggigit bibir bawahnya sembari menggeleng ketika pria itu memaksanya – dengan lembut untuk menceritakan apa yang terjadi.
Dia hanya ingin dipeluk, untuk saat ini.
'besok kita pulang duluan ke Bandung dengan penerbangan pertama. Biar Steven dan yang lain nyelesain sisa kerjaan kita.'
Perintah Ando masih terngiang dalam benaknya ketika tangis histerisnya mulai mereda, diiringi cegukan dan sesegukan yang membuat pria itu melepas pelukannya, menatapnya dengan sorot mata lembut sambil menghapus kedua air matanya yang masih menetes, mencium keningnya pelan, dan menuntunnya duduk disofa sembari pria itu pergi ke arah pantry untuk mengambil segelas minuman untuknya, sebelum mengantarkannya kembali kekamar.
Dia kini berada dikamarnya, mengosongkan semua isi lemari dan memindahkannya dalam koper besar diatas ranjang, dengan tiket diatas meja. Ini pertama kalinya dia rapuh, butuh seseorang untuk menguatkannya, mengetahui kelemahannya, dan ia dibuat ketergantungan
Itulah ketakutannya.
Seumur hidupnya, dia tak ingin bergantung pada siapapun. Dia sudah melihat bagaimana sifat itu menghancurkan ibunya yang berimbas pada pernikahan. Hal itu lebih dari cukup untuk membuatnya tak ingin berada di posisi yang sama.
Kalau Ando memutuskan seenak jidat tanpa berdiskusi dengannya bahwa besok ia akan pulang, jangan harap dia akan sukarela mengikutinya.
Karena ia punya rencana sendiri.
Suara telepon dikamar berbunyi, yang langsung diresponnya dengan senyum dan ucapan terimakasih sambil meminta bellboy mendatanginya, lalu ia bergegas membereskan sisanya, tepat ketika bel berbunyi.
"bentar." Ia berjalan menghampiri pintu sambil merapikan pakaiannya, sekilas menoleh kebelakang melihat pemandangan kamarnya untuk terakhir kali, sambil menahan airmata yang hendak menetes – lagi saat kenangan demi kenangan indah tentang Steven selama sebulan ini menggentayangi dirinya. ia menarik napas dan mengeluarkannya perlahan untuk menenangkan diri, dan membuka pintu, "Mak.."
Ucapannya terhenti ketika mendongkak, sosok pria yang tak diinginkannya berdiri menjulang didepannya dengan tatapan sebiru batu safir yang terlihat berkilau bak terkena pantulan cahaya matahari.
Dia melipat tangan didada. "Ngapain kesini?"
Steven mengabaikan pertanyaan bernada mengusir Nina terang – terangan dan melirik dari balik punggung kaku wanita itu, terbelalak melihat beberapa koper berjejer rapi di tengah ruangan, didukung oleh penampilan Nina yang mengenakan blazer bercorak bunga cerah sepanjang lutut, dengan tank – top berwarna salem serta celana jins robek di lutut berwarna denim, tanpa make – up seperti biasa dan rambut acak – acakan, membuat wanita itu terlihat sangat seksi dan menggoda – seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say You Love Me (Menginginkan Lebih)
RomanceBagaimana jadinya jika kamu mencintai sahabatmu, yang mencintai Wanita lain? masih sanggup menganggap semuanya biasa saja?