Fear (19)

2.9K 256 20
                                    



Ia memperhatikan Laura yang kini duduk di sofa ruang tamunya, memuji rumahnya dengan ekspresi terkejut kesekian kalinya, seolah – olah baru kali ini mampir, padahal sudah ratusan kali hingga dia muak melihatnya. Steven sendiri tersenyum simpul mendengarkan sambil menjawab sekenanya pertanyaan menggebu – gebu dari mantan istrinya itu. Kalau boleh jujur, dia sangat penasaran apa yang di pikirkan pria itu.

Wajar, kan?

Ia memilih menghabiskan segelas susu rasa vanilla ekstra daun katuk yang dibuat Steven khusus untuknya dalam sekali teguk, sebelum menaiki tangga menuju lantai dua. Melihat mereka berdua duduk bersisian seperti sepasang kekasih, dengan Laura yang sesekali menyandarkan kepalanya di lengan kanan Steven dan menggandengnya, memandangnya seolah pria itu masih suami tercintanya, serta pria itu sesekali merespon dengan tatapan yang susah ia artikan karna ia tak ingin tau apa artinya, membuatnya percuma saja bergabung dengan mereka seolah – olah tak pernah terjadi apa – apa, menimpali ucapan Laura atau parahnya memonopoli Steven dan menyatakan kepemilikannya. Tidak, ia tahu diri.

Kehamilan kali ini membuat emosinya seperti kapal terombang – ambing dilautan yang ganas karna badai.

Kalau boleh, Ingin sekali ia mengusir wanita itu dari rumah barunya, kemudian mengomel kepada Steven karna hal itu dan meminta dengan sangat tegas ntuk melarang Laura kesini, lalu merajuk sampai pria itu menyembah – nyembah memohon maaf padanya. pemikiran itu terlihat menggiurkan namun luar biasa bodoh kalau dipikir lama – lama.

Memangnya dia siapa?

Ia mendesah dan memilih masuk kedalam kamar karna perutnya terasa sangat sakit seharian ini, pinggulnya serasa ingin patah hanya karna berjalan, sehingga sekelilingnya serasa berputar luar biasa cepat. Ingin hatinya memanggil Steven mengeluh atau sekedar bermanja ria, tapi melihat pria itu mungkin tak ingin diganggu oleh hal remeh begini, membuatnya merasa tiduran lebih baik daripada memikirkan sepasang kekasih gagal itu.

˸Ë

Nina kenapa?

Laura melihat Steven kini menatap pintu yang baru saja dibanting cukup keras hingga ia terlonjak dan membuatnya semakin merapat pada pria itu, keningnya berkerut, "Kenapa?"

Ia sampai menjawil pelan pundak Steven agar mendapat perhatiannya. "Aku khawatir dengan Nina karna merasa diabaikan. Dia lebih cepat marah karna kehamilan kembarnya sekarang."

Ia mengangguk. "Kamu takut dia marah karna aku sering kesini?"

Mungkinkah? Steven menggeleng. Nina tak mungkin sepicik itu. wanita itu tau bahwa tidak ada Laura dalam hatinya semenjak Kim dan dirinya hadir menginvasi kehidupannya yang dulu porak – poranda karna perceraian. "Gak, Laura."

"Daddy..." Ia tersenyum mendengar suara serak Kim – salah satu ciri khas Vexia yang mendarah daging, memanggil namanya seraya berlari riang. Ia membuka lengannya untuk menyambut pelukan Kim. anaknya ini memang luar biasa manja kalau sudah dengannya, dan ia sangat menyukai itu. ia tersenyum mempersilahkan ketika pembantu baru mereka ijin pamit. "Siapa tadi yang nganter kesini?"

"Om Ando, daddy." Sekarang adalah hari minggu dan Kim seolah terprogram untuk setor muka setiap hari itu pada keluarga Hayman dengan merengek padanya ntuk diantar kesana, lalu bermain hingga lupa waktu bersama Fio hingga membuat jengkel kembarannya, Edric Hayman. kalau sudah terlalu lelah, Ando atau Elista dengan senang hati mengantarkannya pulang dan berbasa – basi sebentar dengannya sebelum pamit.

Say You Love Me (Menginginkan Lebih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang