Semua pilihan ada ditangan lo.
Steven menatap Nina lekat, menyadari bahwa rambut wanita itu mulai agak panjang dan menggoda untuk dielus perlahan, belum lagi tatapannya yang membuat ia tak tahu harus berkata apa.
Ya Tuhan, kenapa dia selalu dalam posisi seperti ini? tidak bisakah Nina membuatnya sedikit lebih simpel?
Ia tegang dan patah hati kesekian kalinya ketika kejadian ini terjadi lagi. Steven dalam posisi memilih lama, dan ia harus mendorong pria itu untuk memutuskan.
Dia ingin sekali saja dalam hidupnya, Steven tak perlu banyak pertimbangan yang berhubungan dengan dirinya.
Karena, dia sendiri tak pernah menimbang banyak hal kalau sudah menyangkut Steven.
Ia menghela napas. Mungkin kalau mereka berdua di pinggir jurang siap jatuh dalam sekali dorongan pelan, sampai Kiamat mereka takkan jatuh saking lamanya pria itu berpikir. “Gue akan urus penerbangan serta paspor dan sejumlah hal lainnya. Nanti Kim gue bujuk untuk tinggal sama lo. pasti gak susah, kan dia paling suka ama lo.” ‘dan melupakan gue.’ Batinnya nelangsa dalam hati.
Steven menghela napas lelah. “Nina, kenapa lo selalu begini?”
“Begini gimana? kan gue baru saja memberi pilihan yang pas buat lo.”
Ia berjuang agar air matanya tidak menetes ketika jemari tangan kanan pria itu mengelus pelan pipinya, hingga kebawah bibir tipisnya. Tatapan lembut biru safir itu membuatnya seperti anak kecil yang merajuk hingga harus ditenangkan dengan kalimat penuh rayuan.
Bukan tatapan seorang pria mencintai wanitanya. Seperti bagaimana Steven dulu menatap Laura seolah – olah wanita itu adalah tulang rusuknya yang hilang.
Kapan dia seperti itu?
“Gue maunya kita menjadi satu keluarga utuh. Tanpa pernikahan sampai lo percaya sama gue.”
Ia melongo, lalu cepat – cepat menutup mulutnya dengan kdua tangan, dan berdehem. Dia harus bersifat seolah ucapan tadi tidak membuat hatinya meledak seperti kembang api tahun baru. “Kenapa?”
Plis.. karna lo akhirnya sayang ama gue, lo gak mau kehilangan gue. Plis.. plis...
“Gue gak mau selamanya Kim akan benci mati – matian ama gue karna buat lo pergi.”
Seharusnya ia bisa menduga jawaban itu, kan? ia menarik napas sambil mendongkakkan wajah, berjuang agar air mata tidak turun. Nanti setelah ini, setelah ini... “Jadi karena Kim?”
“Tentu saja. kalau kebahagiaan Kim adalah karena kita menyatu seperti orang tua, gue gak keberatan sama sekali lakuin itu. lagipula, memang seharusnya seperti ini, kan?”
‘Gue sudah menduga lo pasti akan bilang begini.’ Kupingnya serasa tersayat mendengar gumaman lirih Nina. Dia salah apalagi? “Nina?”
Wanita itu mengerjapkan mata dan langsung memalingkan wajah. Sekilas ia melihat kilau kecil dibawah bulu mata kelopak kanannya. “Oke. Demi Kim.”
Bukan demi gue, lagi.
Ia terkejut ketika pria itu memeluknya dengan sangat erat. Membuatnya spontan membalas pelukannya dan menyandarkan wajahnya pada dada bidang pria itu. “Jadi kita sekarang apa, Nina? Pacaran?”
Ia mendengar nada geli pria itu, dan mengangguk. Takut kalau mengeluarkan sepatah katapun, suaranya akan berubah menjadi segukan. Ya Tuhan... hatinya sakit sekali.
Matipun rasanya pasti tidak sesakit ini.
Tapi, ini resiko dari ucapannya, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Say You Love Me (Menginginkan Lebih)
RomantizmBagaimana jadinya jika kamu mencintai sahabatmu, yang mencintai Wanita lain? masih sanggup menganggap semuanya biasa saja?