22. Kenangan

2.6K 234 22
                                    




"Gimana double J?" tiada angin apalagi badai, tau – tau Ando muncul di wedding boutique dengan tangan kiri memegang 1 kotak donat kesukaannya, serta 2 cup kopi ukuran besar. "Baik kok. " Ia menghampiri dengan senyum lebar sambil mengambil bawaan Ando. "Kesini Cuma nanya anak gue doang?"

Pria itu mendengus sambil duduk didepannya, menikmati aroma kopi yang menguar. "Lo sendiri gimana?"

"Seperti lo liat sendiri. selalu cantik." ia tersenyum sambil mengekori Ando, mencomot satu donat rasa coklat, dan mengerang keenakan. "Lo kesini gak cuma basa – basi doang, kan?"

"Kapan lo akan menikah dengan Steven?"

Ia tersedak dan buru – buru mengambil kopinya, menjulurkan lidah karna masih sangat panas ntuk diminum. "shit!" ia menggerutu sambil mengambil segelas air putih yang diberikan Ando. "Kenapa nanya?"

"Kim udah berumur 10 tahun, anak kembar lo berusia 6 tahun, sampai kapan lo sama dia begini? ini Indonesia, bukan Jerman."

Dia masih ingat betapa repotnya memasukkan ketiga anaknya  ke sekolah TK serta SD karna statusnya, beruntung Ando membantu dengan merekomendasikan beberapa sekolah yang tutup mata akan status hubungan mereka. "Gue tau, kok."

"Lo mau jelasin apa kalau dia nanya hubungan kalian suatu saat nanti?"

"Bilang aja apa adanya. Anak – anak gue cerdas dan berpikiran terbuka, pasti ngerti bahwa situasi keluarganya lebih 'ajaib' dibanding teman – temannya. Kenapa sih? Tumben cerewet."

Ando mendesah, "Fio kemaren cerita bahwa ia disuruh bawa foto pernikahan kedua orang tua masing – masing dan menceritakan didepan kelas, hanya Kim yang tidak membawa, ketika ditanya kenapa, dia bilang bahwa kedua orang tuanya tidak menikah, Cuma tinggal bersama. Bisa lo bayangin sekarang gimana Kim yang polos bilang kayak gitu?"

Ia memakan donat ketiganya, namun lebih perlahan. "Gue tau kok, dia cerita soal itu."

"Dan?"

"Yaa.. gue gak mungkin nikah hanya karna itu, kan? Lo tau alasannya, Ando."

"Steven sendiri ada lamar lo, gak?"

"3 kali dan gue tolak semuanya."

Ia menarik napas perlahan dan mengeluarkannya sambil melonggarkan dasinya. Bicara dengan Karen harus sesabar pertapa. "Karenina, lo sekarang menjadi mama dari 3 orang anak, bukan wanita labil lagi yang mau nikah kalau pasangannya bilang cinta. Ini bukan tentang ego lo doang, tapi tentang mereka yang masih belum siap nerima cercaan masyarakat disini akan status kalian. mau mengalami kayak gitu?"

Mama lakuin semua ini untuk kamu dan Dylan. Biar hidup enak, gak kesusahan lagi, meskipun mama menjadi wanita kedua dari pernikahan mereka. mama harap kamu mengerti, Karenina.

Ia benci berada di posisi yang sama seperti wanita itu. "Gak, Ando. Gue lebih baik hidup begini dibanding menikah tapi bubar semuanya. Lo bisa menjamin kalau suatu saat nanti gue bilang 'ya' pada Steven, kami menikah, kehidupan kami tetap sama seperti sekarang ini? bagaimana kalau Steven mengulang kesalahan yang sama? Bagaimana kalau dia udah bosan ama gue? Lo mau menjamin hal itu gak mungkin terjadi sama gue nantinya? Gue tau rasanya menjadi semua itu, dan gak mau mereka mengalami hal itu. cukup gue, oke?"

"..."

"Gue sudah puas seperti ini. masalah mereka bilang apapun, itu urusan gue, bukan lo."

"Karen...,"

"Diskusi ditutup."

***

"kenapa mama menikah dengan pak Andre?" pertanyaannya dibalas dengan senyum manis sembari senandung kecil sambil menguncir rambutnya. ia paling suka akan sorot mata seksi mamanya bila tersenyum, sungguh sangat cantik. "Karena dia bisa bikin kamu dan kak Dylan bahagia."

Ia masih berumur 12 tahun saat itu, sehingga tak memahami arti ucapan mamanya. "Mama bahagia?"

"sangat, sayang."

"Terus tante Lydia itu siapa, Ma? Kenapa dia kemaren marah – marah sambil mukul pipi mama dan bilang hal jelek tentang mama?"

Senyum enggan itu membuatnya tak berani bertanya lebih jauh. "Ma, bagaimana kabar papah sekarang?"

Ia kaget akan suara sisir jatuh yang cukup keras. "Cukup, Karen. Pria itu takkan pernah merindukan kamu."

***

"kenapa papah pergi ninggalin kita bertiga, kak?"

"Karna kamu lahir."

"Papah benci aku?" Ia melempar batu ke danau yang berada tak jauh dari rumahnya. Dia tak suka dirumah kalau ada pak Andre, membuatnya tak nyaman akan tatapan menyeluruh pria itu, serta sentuhan tangannya yang kemana – mana. Membuatnya takut. "Bisa jadi."

Ia menatap kakaknya, Dylan Pratama yang menatap kosong kearah danau dengan bingung. "Kok gitu?"

"Dulu mama bahagia dengan papah, sangat. Mereka tertawa serta saling tersenyum, kemudian ketika kamu lahir, papah marah dan setiap malam mereka bertengkar, papah mukul mama dan aku, hingga suatu hari kabur tanpa pamit saat kamu masih kecil. Hingga mama bertemu dengan pak Andre."

Ia tak tau kenapa air matanya menetes. Hatinya terpilin kuat. "Aku bukan anak nakal, kenapa papah begitu sama aku, kak?"

Ia merasakan kepalanya dielus pelan kemudian dikecup penuh sayang. Lupakan, Karen. Sekarang ada pak Andre dan gak pantas kita mengingat tentang papah."

"Perceraian itu apa, kak?" ia mendengar kalimat itu dari salah satu temannya di sekolah yang menangis tersedu – sedu dipelukan salah satu guru. "Artinya berpisah."

"Seperti papah dan mama?"


"Gak, karena hal itu berlaku untuk orang sudah menikah. Sedangkan papah dan mama Cuma tinggal bersama.



Kalau tanda *** artinya masa lalu, yah J aku lagi belajar bikin 800 kata doang tiap bab, mohon kritiknya J


Say You Love Me (Menginginkan Lebih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang