Dijodohkan

6.3K 64 5
                                    

"Piye Nduk, kamu mau nggak?" Ibu kembali menanyakan masalah itu, masalah yang paling aku hindari. Malas sekali aku membahasnya.

"Nggak taulah Bu baru juga aku nyampe dari Jakarta? Ibu nggak kasian sama aku? aku capek Bu! males aku membahas masalah itu! kasih aku waktu berfikir!" jawabku mengelak sambil meninggalkan Ibu yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Masalah inikan sudah kita bicarakan sebulan yang lalu, menurut ibu waktu yang ibu berikan sudah cukup untuk kamu berfikir!" nada suara Ibu sudah mulai meninggi

"Pak Suroso bertanya terus kepastian dari kamu, suka nggak suka Sabtu ini mereka akan datang ke rumah!"

"Praaaang!" tak sengaja gelas di tanganku terjatuh. Secepat itukah aku kan belum memberikan kepastian.

Buru-buru ku rapikan pecahan gelas yang jatuh, "aaargh." Darah segar keluar dari jari manisku. Segera kuambil tissue sebelum Ibu melihat.

"Maafkan Ibu Nduk, Ibu bukannya mau memaksa kamu untuk menerima lamaran itu, tapi kamu kan tahu selama ini yang membiayai bapakmu sakit sama keperluan kamu kuliah kan pak Suroso, Ibu nggak tau gimana menolaknya?"

"Berarti Ibu menjual aku kepada pak Suroso, aku ini bukan barang Bu, aku manusia aku akan menemukan jodohku sendiri bukan dijodohkan seperti Siti Nurbaya!"

"Ibu cuma minta pengertianmu, sedikit berkorban untuk kebaikan orang banyak, untuk orang tuamu, orang tuamu ini hanya buruh tani biasa."

"Tadi Ibu menaruh foto calon suamimu di meja rias di kamarmu, lihatlah dahulu mungkin kamu akan menyukainya, namanya Rasyid orangnya baik, dia kerja di TNI AU, sebulan lalu Ibu bertemu dengannya. Katanya sekarang ia sedang ada tugas di Yogyakarta."

Apa! Aku akan menikah dengan seorang tentara, oalaaah mimpi apa aku ini, apes tenan, punya suami tentara bakalan sering ditinggal tugas. Iiih gak sudi aku!

Sebenarnya rasa capek dan lelah menempuh perjalanan dari Jakarta belum hilang, tapi karena keadaan memaksa jika aku tetap di rumah, Ibu akan terus membahas masalah itu. Kuputuskan untuk keluar rumah, menghirup udara segar pedesaan. Desa kelahiranku yang sangat kucinta. Dengan sepeda ontel milik ayahku aku mulai berkeliling desa, tidak banyak perubahan yang berarti setelah aku tinggal selama 3 tahun kuliah di Jakarta.

Dari kejauhan ada sebuah mobil Jeep berlawanan arah tiba-tiba mengklakson sehingga membuatku kaget aku tidak dapat mengendalikan sepedaku dan terjatuh.

"Aargh...gubrak!"
Aku terjatuh kesawah. Sepeda dan tubuhku penuh dengan lumpur.

"Mobil sialan, nggak punya mata yang nyetir." teriakku

Mobil itu berhenti, keluarlah seorang laki-laki jakung bertubuh tegap manghampiriku.

"Maaf mba .....maaf, gara-gara saya ya, jadi jatuh"ucap lelaki itu ramah.

"Udah tau nanya lagi!" jawabku kesal

"Sekali lagi maaf ya mba, sini saya bantu." ucapnya sambil mengulurkan tangan.

"Nggak..nggak usah saya bisa sendiri!" jawabku kesal sambil mencoba mendirikan sepeda dan tertatih-tatih meninggalkan lelaki itu yang hanya diam terpaku.

******

"Kamu kenapa kok belepotan begitu Nduk, lagian sih kamukan masih capek kenapa juga pecicilan pake main sepeda segala, sana mandi,  tuh sudah ibu rebuskan air panas."

Aku hanya terdiam masih kesal atas peristiwa tadi ditambah masih terngiang omongan ibu tadi pagi.

Segar rasanya setelah mandi dengan air hangat, semua seperti tertanggalkan, semua rasa capek dan perasaan marah, kesal hilang. Kurebahkan tubuh ini  di kasur kapuk nan empuk buatan ibuku. Kangen rasanya berada di ruangan ini, kamar favoritku, tidak banyak berubah, semua masih seperti yang dulu. Buku-buku lama dan fotoku semasa kecil dan masa SMA masih terpajang rapi di tempatnya, ibu benar-benar merawatnya dengan baik.

Tiba-tiba mataku tertuju ke meja rias ada sebuah foto, ini pasti foto yang ibu maksud. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung mengambil dan menyobeknya, kemudian membuangnya jauh-jauh keluar jendela tanpa kulihat dulu, bagiku itu tidak perlu. Aku tidak mau melihat wajah lelaki yang akan menikahiku dengan cara membeliku dengan alasan membantu.

Jika tahu akan seperti ini tidak sudi aku kuliah ke Jakarta. Kuliah sebenarnya bukan keinginanku tapi bapak ingin anak semata wayangnya ini ingin jadi guru dan bisa mengabdi di desa kelak. Ternyata setelah aku menyelesaikan kuliahku aku dipanggil pulang untuk menikah dengan orang yang tidak aku kenal.

Pak Suroso memang bukan orang asing bagiku, beliau adalah sahabat almarhum bapakku, seorang dokter, beliau tinggal di desa sebelah, beliaulah yang merawat bapakku sampai akhirnya meninggal dunia. pak Suroso mempunyai dua orang putra, tapi yang tinggal bersamanya hanyalah putranya yang kedua Yahya, sementara Rasyid dari kecil tinggal bersama mbahnya di Yogyakarta. Oleh karena itu aku tidak pernah melihat Rasyid sama sekali.

Tidak terbayang rasanya akan menikah dengan orang yang tidak aku kenal, menikah dengan rasa benci, tapi benar yang ibu katakan apapun alasannya, aku tidak mungkin menolak lamaran itu. Pak Suroso orangnya baik begitu besar kebaikannya terhadap keluargaku sangat besar sampai kami tidak tahu harus bagaimana membalasnya.

Menikah dengan tanpa rasa cinta apa jadinya rumah tanggaku nanti. Di tambah lagi kata temanku yang menikah dengan tentara semua tidak ada yang beres hanya keluh kesah yang ada, karena sering di tinggal tugas, ditambah lagi tentara itu tidak ada yang romantis. Aku juga punya mimpi mempunyai suami yang penyayang dan romantis dan selalu ada di sampingku, aku juga ingin mempunyai cerita cinta yang indah, bukannya seperti ini menikah karena perjodohan, masa depan apa yang yang kan kuhadapi nanti. Sesak dada ini memikirkan semua ini, ingin rasanya kabur jauh meninggalkan semua ini, tapi aku tidak mungkin meninggalkan ibu sendiri.

Aku menerima pernikahan ini bukan untukku. Kulakukan ini untukmu Ibu...
Bersambung....

Cinta BugenvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang