Duka dan Bahagia

3.2K 45 0
                                    


Perasaann ini tidak berubah, hatiku tetap beku. Walaupun kebencian kepada Rasyid mulai berkurang tapi tetap saja bayang-bayang perjodohan itu membuatku muak kepadanya. Semenjak hari itu ada penghuni baru di Hpku. Siapa lagi jika bukan Rasyid, setiap hari dia mengirimiku sms, bahkan  tidak segan–segan untuk telepon. Sebenarnya Rasyid baik dia sungguh menjaga perasaanku, tidak pernah menyinggung masalah pernikahan dalam setiap sms atau telponnya karena dia tahu benar jika masalah itu dibahas akan membuat aku malas untuk berbicara, justru kami hanya lebih sekedar berteman. Aku tahu sebenarnya ini adalah taktiknya untuk mengambil hatiku.

Kadang aku bertanya dalam hati, apakah Rasyid suka padaku? Apakah suatu hari aku bisa menyukainya? Bagaimana pernikahan kami nanti? Apakah akan langgeng? atau berakhir perceraian seperti Rani. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantuiku. Membuat hatiku tidak tenang. Walaupun orang di sekitarku selalu berkata kamu pasti akan bahagia. Itu tidak bisa membuat lega hatiku. Jujur ada ketakutan jika rumah tanggaku nanti kan gagal di tengah jalan. Cinta Rasyid tidak begitu aku harapkan, tetapi apakah kebahagiaan itu akan datang padaku?

Hari ini tepat 2 minggu sebelum pernikahanku, tadi pagi utusan dari keluaraga Pak Suroso mengantarkan beberapa barang seserahan, lemari,  tempat idur, kompor dan pelatan dapur lainnya. Tiba-tiba rumahku sudah di penuhi barang-barang baru pemberian keluarga Rasyid. Sepertinya pak Suroso tidak mau anaknya sengsara ketika tinggal di rumahku nanti. Semuanya telah dipersiapkan. Sebenarnya kami merasa nggak enak atas semua pemberian ini, tapi kami tak kuasa menolaknya. Aku  takut sanak saudaraku memandangku cewek matre. Namanya  tetangga pasti ada saja yang syirik atas semua ini. Malah pernah aku mendengar celoteh yang tidak sedap terdengar dari tetanggaku.

“Jangan-jangan pak Suroso diguna-guna sama bu Tyo? Masa dia merelakan anaknya Rasyid yang gagah dan ganteng itu menikah sama orang nggak punya? Padalah banyak cewek cantik dan kaya yang suka padanya?" gosip tetanggaku.

“Ran tolong bantu ibu merapikan barang-barang ini!” Sambil menunjuk barang-barang yang diberikan keluarga Rasyid. Aku pun beranjak memenuhi permintaan Ibu.

“Assalamualaikum..ya saya sendiri,” terdengar suara Ibu sedang menerima telpon dari Hp.

Innalilahiwainnalillahi rojiun…Aruuum! Teriak Ibu sekencang kencangnya yang membuatku kaget dan lari terbirit-birit menghampiri beliau.

“Ada apa bu? Kenapa?” Ibu sudah terduduk lunglai dibale depan.
“Pak Suroso Rum? Pak Suroso sudah nggak ada,  pak Suroso sudah meninggal… meninggal karena serangan jantung,” barusan saudaranya telepon. Kita diminta segera kesana. Jawab Ibu agak gagap.

Innalilahiwainnalillahi rojiun…aku tak habis pikir pak Suroso kan dokter. Memang ajal itu Allah yang mengatur siapapun dia jika Allah berkehendak memanggil  tidak akan dapat mengelak.

Aku dan ibu segera berkemas untuk menuju ke rumah Pak Suroso, supaya lebih cepat kami menggunakan jasa tukang ojek. Berita meninggalnya Pak Suroso cepat menyebar keseluruh desa. Pak Suroso siapa yang tidak mengenalnya? beliau merupakan salah satu orang yang berpengaruh di desaku. Dari tokoh masyarakat sampai ulama semua hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Sesampainya di sana, rumah pak Suroso yang memang besar telah dipenuhi orang yang melayat. Alunan surat Yassin bersahutan-sahutan disertai isak tangis saudara-saudara yang ditinggal. Ibuku sendiri dari di rumah sudah tidak dapat menahan air mata. kedatanganku dan ibu langsung disambut oleh Yahya adik Rasyid.

“Ibu sudah menunggu dari tadi Mba” kata Yahya kepadaku

Aku dan Ibu segera menuju suatu ruangan yang mungkin merupakan kamar istrinya pak Suroso. Sesampainya di kamar, istri pak Suroso langsung memeluk Ibu, keduanya pun menangis terisak–isak, aku sendiri sebenarnya dari tadi ingin menangis tapi untung aku masih dapat menahan. Aku mengalihkan pandanganku kesegala penjuru, mencari-cari Rasyid, yang dari tadi tidak tampak.

“Cari mas Rasyid ya mba?” tegur salah satu wanita setengah baya yang ada di sampingku, Aku terkejut ternyata dari tadi dia memperhatikanku.

“Mas Rasyid lagi sibuk mengurus persiapan pemakaman mba?” Kata wanita itu, aku tidak bisa berkata apa-apa hanya kubalas dengan senyuman

“Rene Nduk, Ibu mau bicara. Tiba-tiba istri pak Suroso berbicara padaku, perlahan aku mendekati beliau duduk di sampingnya, beliau memegang tanganku sambil menahan tangis.

“Keinginan terakhir Bapak adalah kamu dan Rasyid menikah, Nduk?”
“Ibu ingin kamu dan Rasyid menikah sekarang, di depan jenazah Bapak. Bersediakan Nduk?”Aku memandang Ibuku dan Ibuku pun menggangguk.

Akhirnya tangis ini tak terbendung lagi, aku menggangguk sambil memeluk istri pak Suroso. Nggak kebayang kacaunya hatiku saat itu, aku akan menikah, menikah dalam keadaan duka. Mungkin ini memang jalan terbaik, jika ini tidak dilakukan maka pernikahan kami harus ditunda minimal setahun. karena dalam kepercayaan orang Jawa tidak boleh mengadakan pesta pernikahan di tahun yang sama jika ada sanak saudara yang meninggal.

Karena pak Suroso akan di kuburkan sehabis dzuhur maka pernikahan harus segera dilangsungkan. Tidak ada persiapan yang menonjol. Tidak ada gaun  pengantin, hanya pakaian ala kadarnya yang aku pakai dari rumah. Tidak ada make up apalagi musik, semuanya terlihat aneh. Setelah semuanya dipersiapkan aku dipanggil ke sebuah ruangan di sana terlihat terbaring jenazah pak Suroso, di sekelilingnya ada sanak saudara Rasyid  dan beberapa saudaraku yang tadi telah di telepon Ibu untuk datang. Di sisi lain duduk Rasyid yang mengenakan baju koko putih lengkap dengan peci hitam. Di depannya telah duduk seseorang dengan pakaian gamis putih bersorban. Yang tak lain adalah kyai Musthopa salah satu ulama terkemuka di kotaku. Mungkin dialah yang akan menikahkanku dengan Rasyid. Aku dituntun Ibu duduk di samping Rasyid setelah itu Ibu memasangkan kerudung putih panjang di kepala kami berdua. Ntahlah wajah Rasyid saat itu seperti apa? Enggan rasanya memandang wajahnya. aku trus menundukkan kepala, berat untuk mengangkatnya.

“Saya terima nikah dan kawinnya Arumi binti Sulistyo dengan mas kawin 10 gram emas dibayar tunai”

“Bagaimana, sah!”  pak Kyai bertanya

Sah..sah..” terdengar sahut sahutan orang berkata sah. Disusul ucapan Alhamdulilah oleh hampir seluruh isi ruangan. Kemudian doa-doa pernikahan pun dipanjatkan. Setelah selesai aku mencium tangan Rasyid yang tidak disangka Rasyid mencium keningku. Kikuk aku dibuatnya. Terlihat wajah Rasyid yang tidak berseri seperti biasanya. Suram seperti ada kesedihan yang tertahan didalamnya. Setelah itu aku menghampiri Ibu, tangisku pecah kembali. Ntah tangisan apa ini? Bahagia atau kesedihan. Aku sah menjadi istri Rasyid mulai hari ini hidupku berubah.

Prosesi penguburan Pak Suroso telah selesai, beberapa sanak saudara telah kembali kerumah masing-masing, walupun ada beberapa yang masih belum pulang. Malam ini aku diminta menginap di rumah pak Suroso, sebenarnya ingin sekali menolak tapi nggak mungkin karena  statusku sekarang istri Rasyid mantu pak Suroso. Ibuku tadinya hendak pulang terlabih dahulu dengan alasan peliharaan kami ayam dam entok nggak ada yang ngurus. Tapi setelah aku bujuk akhirnya Ibu bersedia menemaniku. Nggak kebayang jika tidak ada Ibu, bagaimana rasanya sendiri di rumah yang buatku masih asing?

Setelah tahlilan selesai, suasana mulai sepi. Aku dan Ibuku masih menyibukkan diri membereskan bekas acara tahlilan.

“Nduk Rum, nanti kalo kamu tidur kamarmu di sana ya, itu kamar Rasyid. Biar Ibumu tidur sama saya,” Kata istri pak Suroso sambil menunjuk salah satu kamar.

Aku hanya mengangguk tersenyum. Maksudnya apa ini? aku harus tidur di kamar Rasyid, memang aku sudah sah menjadi istri Rasyid tapi nggak secepat ini.
Bersambung.......

Cinta BugenvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang