Lamaran

3.4K 43 0
                                    


Tak biasanya rumahku yang sederhana bisa rapi dan sebagus ini. Dari halaman, sampai belakang dan samping bersih tertata. Tumpukan sampah dan kayu yang tidak terpakai, yang dulu berada di samping rumah hilang, ntah dibuang kemana. Ibu sendiri dari pagi buta sudah sibuk beres-beres. Beberapa sanak saudara juga datang membantu, semua ini untuk menyambut kedatangan keluarga Rasyid. Hari ini keluarga Rasyid akan secara resmi melamarku sekaligus kami bertunangan. Di hari inilah akan ditentukan hari pernikahanku. Hari yang akan merubah hidupku.

Aku sendiri enggan ikut menyibukkan diri dengan mereka. Aku lebih merasa nyaman di dalam kamar. Malas rasanya mendengar ocehan saudara-saudara yang selau meledekku.

“Senengnya yang mau lamaran?”

“Punya calon suami penerbang enak ya, bisa terbang keliling dunia?” celoteh salah satu saudaraku.

Pening kepalaku mendengar semua ocehan nggak jelas itu. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya menghadapi semua ini.

“Rum, sudah siap belum Rum? cepet dandan sing ayu! Sebentar lagi tamunya datang!” Teriak Ibu dari luar. Kulirik pakaian kebaya yang tergantung di pintu. Kebaya yang dua hari lalu dibawa Rasyid, pemberian Ibunya. Haruskah aku memakainya? Dengan berat hati kutaanggalkan kebaya itu dari gantungan. Sebenarnya kebaya ini sangat indah seandainya bukan keluarga Rasyid yang memberikan aku pasti akan sangat menyukainya.Tahu benar mereka ukuran bajuku, pas sekali. Oh iya aku lupa pasti mereka sudah bekerja sama dengan Ibuku.

“Lho Rum kok belum dandan, sini aku yang dandani ya,” Pinta Rani yang tiba-tiba menghampiriku.

“Wuih cantiknya, senyum dong biar tambah cantik,” oceh Rani setelah selesai mendadaniku

“Kamu nggak usah gugup gitu, nanti aku akan selalu mendampingi kamu kok”

“Bener ya Ran, kamu jangan kemana-mana?” Rani mengganguk

“Rum keluar  tamunya sudah datang!” panggil Ibu.

Terlihat sekitar 6 sampai 7 mobil berhenti di depan rumahku. Satu persatu bermunculan keluarga Rasyid. Yang wanita berkebaya, masing masing membawa bingkisan, kue dan buah. Sedangkan yang laki-laki memakai jas. Namun ada beberapa yang menggunakan seragam angkatan, pasti ini teman kerjanya Rasyid. Rasyid di mana dia? Sejak kapan aku peduli dengannya?. Rasyid mengenakan pakaian seragam berwarna putih lengkap dengan topi dan atributnya. Aku tidak menyangkal, Rasyid terlihat gagah dan semua orang berbisik-bisik melihat Rasyid.

“Rum ganteng banget Rasyid,” Celetuk Rani di sampingku

“Bagiku biasa aja tuh!” jawabku dingin, Rani melirikku kemudian membuang muka

Keluargaku sendiri berdiri berjejer seperti pagar betis bersiap-siap menyambut keluarga pak Suroso. Satu persatu mereka masuk kedalam. Aku berusaha untuk menghindari pandangan Rasyid yang tidak henti-hentinya terus memandangku, jadi salah tingkah aku dibuatnya, risih.

Setelah sambutan sana sini akhirnya proses pertunangan tiba di mana kita berdua harus saling memakaikan cincin. Jantungku berdebar keras, mungkin Rani yang selalu di sampingku bisa mendengarnya. Kepalaku tertunduk, berat rasanya untuk mengangkat. Apalagi jariku dingin sepeti es saat Rasyid memakaikan cincin.

Lega rasanya acara ini telah usai, Rasyid dan keluarga telah pergi. tapi kegundahan hati ini belum selesai, pernikahanku sudah ditentukan, 2 bulan setelah acara pertunangan. Semua telah disiapkan oleh pak Suroso dan keluarganya. Kenapa cepat sekali?

Hari–hari menjelang pernikahan aku habiskan untuk mencari perkerjaan. Aku memasukan lamaran ke sekolah–sekolah, aku ingin setelah menikah nanti aku sudah punya pekerjaan. Setelah melamar kesana kemari akhirnya aku diterima di sebuah sekolah dasar swasta. Dan langsung izinkan mulai mengajar. Dengan adanya kesibukan baru sedikit demi sedikit aku bisa melupakan segala ketegangan yang telah terjadi.

Cinta BugenvilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang