Desember

87 7 4
                                    

Nadine POV (H-7 sebelum kepulangan Rean)

ALUNAN musik telah berhenti dan lilin telah padam. Pukul 10. Dan kenangan - kenangan itu telah berlalu. Menguap dengan cepat.

Coklat panas di mejaku telah tandas, aku harus segera pulang. Membiarkan kenangan - kenangan itu tetap tinggal di setiap sudut Saturnus. Menunggu untuk di hidupkan kembali setiap aku berkunjung.

Aku tidak akan pernah lupa akan malam itu. Seperti rekaman yang diputar berulang - ulang di kepalaku, dan aku masih ingat dengan detail hujan di malam itu. Desember. Pukul 10. Café Saturn. Dirimu. Hujan.

Kini aku telah berkemas, merapikan peralatan dan memasukannya kedalam tas. Segera setelahnya aku menghampiri John, bercakap  cakap sebentar lantas membayar coklat panas yang telah aku minum. Namun ia bersikeras menolak, ia berdalih semua itu sebagai rasa permohonan maafnya.

Baiklah, malam ini aku memang benar - benar berhemat. Setelah mengucapkan terimakasih padanya aku langsung menuju pintu keluar, melambai dan memgembangkan payung hitam milikku untuk kemudian melangkah menuju rumah.

Aku pulang…

***

Rean POV

TIGA puluh menit berjalan kaki dan aku telah sampai tepat di depan pintu rumahnya. Menutup payung merah yang basah dan sejenak berbincang sebelum ahirnya aku memutuskan pulang.

“Malam akan semakin larut, aku harus segera pulang. Sampaikan salamku untuk orang tuamu, Dine”  Aku sudah bersiap - siap untuk pulang sampai ia menahanku.

“Tunggu, tunggu dulu. Apa kau bilang? Aku harus menyampaikan salammu untuk orang tuaku?” Ia berkata meggodaku. “Sampaikan sendiri salammu pada orang tuaku” Kini ia tertawa melihat wajahku yang kikuk karena bingung. Namun setelahnya aku sadar maksud dari perkataannya. Tak lama kemudian Ibunya keluar dari balik punggungnya, tersenyum ramah padaku.

Dan sontak itu membuatku seperti pendonor yang kehabisan darahnya sendiri, memutih dan mematung tak berdaya. Lebih karena aku belum siap menghadapinya.

“Ma…malam Mah. Eh maksudku Bu, Tante…” Dan lagi… Aku mengacau dengan ocehan gugupku, menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Tak usah gugup nak Rean, nak Rean seperti sedang melihat hantu sajah. Panggil saja mamah” Senyum Mamah ramah, bahkan padaku yang baru ia kenal sekalipun, dan aku tau dari mana sikap Penggoda itu di turunkan. Tapi sepertinya obrolan ini takan berlangsung lama. Aku harus pamit. Tak sopan berbincang selarut ini.

“Nak Rean tak mau mampir dulu? Hujannya masih belum reda loh” Di belakang Mamah, Nadine gemas berkedip kepadaku, mendesakku untuk memberikan jawaban yang ia inginkan. Tapi aku benar - benar harus menolaknya.

“Tidak usah Mah, sudah terlalu larut untuk bertamu, mungkin lain kali aku akan datang lebih sore” Balasku tersenyum, cukup baik. Aku mulai terbiasa dengan perasaan gugupku. Dan Nadine kini terlihat melipat dahinya.

“Baiklah kalo begitu, hati - hati di jalan Nak Rean”

“Terimakasih Mah. Dine aku pulang dulu, I’ll call you later” Setelah selesai bersalaman dan mengucapkan salam aku segera membuka payung merahku dan melangkah menuju malam. Ia masih tersenyum hangat dan melambaikan tangannya saat aku menoleh, dan aku sekali dua melambai padanya untuk kemudian benar - benar di lumat oleh hujan.

Malam yang luar biasa!

Dan sesampainya di rumah, aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Buru - buru mengaktifkan smartphone yang sejak tadi kumatikan saat di café, memasukan charger pada lubangnya dan segera aku mengetikan nomor yang di berikan Nadine pada dial-pad.

Nadine, ya Nadine… Nama yang indah.

Aku memang lebih sering menggumamkan namanya dari pada bergumam “Lapar, lapar, lapar” setiap tengah malam. Memang, semua kegemberiaan ini telah melupakanku pada rasa lapar tengah malamku dan aku bersyukur akan hal itu.

Aku akan menghubunginya, dan mungkin mengajaknya ke salah satu tempat favoritku akan membuat suatu perbedaan. Memperbaiki gugup yang menghancurkan malam pertamaku walaupun tak sepenuhnya. Dan aku rasa aku akan mengajaknya JALAN.

“Hi Dine, maaf jika aku menganggu tidurmu. Aku hanya ingin memastikan kau dapat tidur dengan nyenyak malam ini. Kau tak perlu khawatir, aku pulang dengan tanpa sepotong bagian pun yang hilang. Hanya saja kucing - kucing di gang rumahmu terlihat seperti preman magang, dan aku takut jika mereka kebal air.

Oia, by the way… Jika sabtu nanti jadwalmu kosong, aku ingin mengajakmu melihat senja di stasiun kota tua. Kau pasti akan menyukainya.

Dan satu lagi, aku berharap kau tidur kembali setelah membaca pesan ini, Have a sweet dream, Dine…

Tertanda: Ninjamu—Rean”

Baiklah aku juga harus segera tidur dan menunggu hingga pagi nanti untuk melihat apakah ia membalas pesanku. Astaga! Ini seperti mimpi dan mataku semakin berat dibuatnya.

Selamat malam Dine… Aku akan senantiasa menunggumu.

Hi guys! Ini cuman Short Part buat pembukaan "Desember 2" kok. So stay tune and wait for the next chapter of "Desember 2"

Don't forget to Voment guys!
Thanks

RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang