Senja Kota

42 4 4
                                    

PERJALANAN pulang mamakan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan saat aku datang.

Jalanan mulai padat di beberapa tempat namun aku masih bisa menikmatinya. Aku tak menunda setiap detik yang aku punya untuk segera merebahkan badanku di peraduan. Dan tepat pukul 10 malam aku telah sampai di kamar apartemenku. Membereskan segala yang telah aku gunakan sebelumnya, mendingankan badan di kamar mandi dan segera berbaring di kasurku yang empuk.

"Besok aku akan membuatnya tersisa 5 hari lagi"

Kantuk mulai melanda dan setiap detiknya aku merasa semakin lelah dan mataku semakin berat, aku kemudian tertidur dengan lelapnya dan alarm membangunkanku tepat pukul 7 pagi.

Hari baru...

***

Hari ini banyak yang harus aku urus terutama tiket penerbanganku menuju Indonesia. Besok aku akan kembali ke tanah kelahiranku dan hal itu mulai menghantui pikiranku. Setiap saat aku memikirkannya, saat makan, saat bersantai bahkan saat aku di kamar kecil sekalipun.

Pukul 9

Aku sudah mengayuh sepeda milik Emma melintasi jalanan berlin untuk mengurus dokumen - dokumen yang belum aku urus, aku ingin memastikan bahwa semuanya sudah aku tangani dan tidak ada yang tertinggal sama sekali ketika aku pulang nanti.

Lewat tengah hari aku kembali ke apartemen untuk mengambil laptop dan membawanya ke Café milik Louis untuk memesan tiket secara online, dan mengucapkan salam perpisahanku padanya. Aku tidak tega jika ia harus mendengarnya dari Emma. Ia akan menangis di hadapan wanita yang ia dambakan dan itu tidak akan pernah terjadi.

Café Edelweiss. Aku telah sampai.

Segera aku memarkir rapi sepeda Emma di tempat yang sudah di sediakan dan segera masuk. Aku melihat Louis sedang sibuk melayani pembeli, meramu dan menyiapkan banyak hal. Aku tak berani mengganggunya dan terus melangkah mencari meja dekat jendela yang masih kosong. Dan alangkah beruntungnya aku hari ini, masih ada satu meja yang kosong di ujung ruangan, persis menghadap sepedaku yang terparkir rapi.

Aku telah mengangkat tanganku, dan seorang waiter menghampiriku dengan sigap, semua karywannya telah kembali dari hari libur mereka dan sudah kembali bekerja. Benn, ia waiter yang menghampiriku.

"Hai Benn, katakan pada Louisie. Rean memesan sepaket menu special untuk hari yang special"

"Baiklah, Rean. Akan aku sampaikan. Ada lagi yang harus aku catat?" Tanyanya sopan.

"Tidak. Hanya itu. Terimakasih... Oh tunggu dulu, panggilkan dia. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya"

"Baiklah, akan aku sampaikan padanya"

Benn kini telah berlalu melewati meja - meja pelanggan, satu dua menyapanya dan ia balas ramah menyapa mereka.

Aku kini telah mengeluarkan laptop usangku, menaruhnya di atas meja dan memulai proses booting. Sejauh yang aku tau Café ini di lengkapi dengan sinyal wifi tercepat di Berlin. Maka dari itu tidak heran jika sudah 2 tahun ini aku rajin mengunjungi Louis untuk beberapa alasan dan salah satunya adalah karena wifi miliknya yang super ngebut.

Setelah laptopku sepenuhnya beroperasi aku segera mengkoneksikan wifiku dan mulai mengakses laman resmi penjualan tiket dari salah satu maskapai penerbangan yang paling besar di negaraku. Memasukkan beberapa informasi, tanggal keberangkatan dan mentrasfer sejumlah uang yang tertera. Setelahnya aku dengan resmi telah mendapatkan tiketku. Besok. Pukul 10.30 dari Jerman menuju Indonesia.

"Hei Rean, kau terlihat sangat bahagia hari ini. Apa kau baru saja memenangkan lotere?" Louis tergelak seraya menepuk pundakku.

"Menurutmu?"

"Entahlah... lebih baik kau memberitahuku Rean". Ia kini duduk bersebelahan denganku, ikut mengintip apa yang ada di layar laptopku.

"Aku akan pulang ke Indonesia kawan. Memeluk kembali semua kenangan yang telah lama aku tinggalkan. Lagi pula ada banyak yang harus ku hadiri di sana, aku sudah bak orang penting bagi mereka" Aku tertawa kecil guna mencairkan wajah Louis yang sedikit berubah.

"Astaga, tak terasa orang yang dulu kebingungan saat menginjak jerman kini akan pulang dengan banyak cerita hebat"

"Hey, aku akan sesekali berkunjung kawan. Lagipula aku akan menghadiri pernikahanmu dengan Emma, kau ingat?" Aku kembali tergelak. Dan ia meninju bahuku.

"Bukankah itu maumu kawan?" Iya tersenyum lebih hangat sekarang.

"Cafeku akan sepi tanpamu, kawan. Lebih baik kau segera berkunjung jika kau bisa. Aku mungkin akan Melamar Emma dan menikahinya!"

"Akan kulakukan, Louis"

Setelah beberapa saat berbincang, kami akhirnya berpamitan dan saling berjabat. Berkata bahwa persahabatan tidak akan pernah pudar oleh jarak. Dan aku meyakini akan hal itu.

***

Hari ini tak banyak yang bisa aku lakukan, entahlah. Fikiranku hanya tertuju pada satu titik. Kepulanganku, dan Nadine...

Apa kau masih menungguku, Dine?

Aku kini mengayuh sepedaku semakin cepat, semakin cepat hingga yang tersisa hanyalah buram di sepanjang jalan.

***

"Hi Dine? Sudah lama menungguku?" Aku segera menghentikan sepedaku, memarkirnya di sebuah pohon dan menghampirinya dengan peluh di hampir seluruh bagian wajahku. Kau tau? akibat kebut-kebutan di jalanan tadi.

Ia hanya tersenyum, menggeleng dan memberikan ruang untuk aku duduk di sebelahnya. Aku tak menunggu aba-aba selanjutnya, aku sudah duduk di sebelahnya dengan napas terengah dan peluh yang masih bercucuran.

Dengan sigap ia terlihat meraih-raih sesuatu di dalam tas yang ia bawa dan mengeluarkan sebuah handuk kecil kemudian mengelap sebagian wajahku dengan lembut. Awalnya aku terkejut, namun lembut matanya membuatku mengendur, membiarkan tangan lembutnya mengusap wajaku.

"Bisakah kau tak selalu seperti ini, Rean? Atau mungkin memang ini salah satu caramu agar dapat dengan mudah menikmati cantik ku?" Ia tersenyum. "Bagiku menunggumu adalah candu" Lanjutnya.

"Dan bagiku membunuh beberapa detik akan lebih baik dari pada membuatmu lebih lama menunggu, Dine" Kataku seraya membenarkan anak rambutnya.

"Kau tau tentang Antroposentris, Dine? Mereka mengatakan bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Aku pernah berfikir entah akan dinamakan apa jika pusat imajiku adalah dirimu."

Ia semakin tenggelam dalam merah rona pipinya, dan aku kini semakin mendekat padanya, mencium keningnya dan menatap lebih dalam pada mata biru miliknya.

"Mau aku antarkan kemanakah Tuan Putriku hari ini?"

"Kemanapun, aku tak peduli. Sungguh. Bersamamu aku ingin menikmati senja..."

"Dengan senang hati..."

Masih penasaran dengan kelanjutan ceritanya?

Don't forget to Voment guys!
Thanks


RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang