Stasiun & Senja

116 9 6
                                    

Rean POV

SAAT itu senja tak terlalu merayu, cemas mengubur langit yang berubah jingga. Kini sudah pukul 5, dan ia belum terlihat dimana pun.

Stasiun Kota Tua terlihat lengang, hanya ada beberapa yang menunggu di peron, menunggu kereta senja. Jembatan layang tempat dimana aku berdiri pun terasa sepi. Tidak ada satu pun orang lewat sepanjang 30 menit aku di sini. Mungkin mendung yang mulai datang membuat mereka enggan untuk keluar rumah.

Aku tak keberatan dengan mendung yang mulai menggantung di langit, aku sudah siap dengan payung yang sengaja ku bawa. Tau bahwa selalu ada kemungkinan hujan di detiap jamnya.

Kini aku melirik pergelangan tanganku dengan gemas, sudah 15 menit ia belum juga datang. Aku mulai cemas jika ia tidak akan datang dan membatalkan janjinya. Aku bahkan tidak bisa menghubunginya, kutinggalkan smartphoneku di kamar. Aku tau jika itu nantinya hanya akan menggangguku saja.

Keadaan kini semakin memburuk, gerimis perlahan turun, rel - rel kini menjadi basah. Beberapa calon penumpang kini telah menggunakan jas hujan dan mulai mengembangkan payung mereka yang beraneka warna. Aku kini menghela napas panjang.

Baiklah jika kau tidak ingin datang, Dine.

Aku kini telah mengembangkan payung merahku, merapatkan sweater yang ku kenakan dan mulai melangkah meninggalkan jembatan layang, meninggalkan senja yang terus merayuku untuk tetap tinggal.

Aku kini sudah separuh jalan, bersiap untuk menuruni anak tangga sampai seseorang di belakang mulai memanggilku dengan lantang. Aku mengenali suara itu. Dan kini suara itu benar - benar menghentikan langkahku, membuatku patah - patah berbalik.

Itu adalah dia.

Ia melambai - lambaikan tangannya ke arahku, membuatku bergegas berlari ke arahnya saat hujan benar - benar turun dengan derasnya. Ia sama sekali tidak membawa apapun selain dirinya yang manis, dengan balutan sweater berwarna hitam. Senada dengan yang ku kenakan saat itu.

Kami saat itu hanya dapat tertawa saat hujan yang sama membuat kami basah. Dan kini ia sudah berada di sampingku, terlindung dari hujan walau tak membuatnya terlindung dari dingin.

"Maaf karna aku terlambat, Rean" Katanya lembut.

"Kukira kau tidak akan datang, Dine" Balasku penuh rasa penasaran.

"Aku bingung memilih baju mana yang cocok untuk aku pakai saat bertemu denganmu" Balasnya tersipu..

"Apapun itu Dine, kau tetap manis dengan mata birumu" Rayuku, mencoba sebisa mungkin tersenyum tanpa dengan ekspresi bodoh yang biasanya mengikuti. Dan kini ia semakin bersemu merah.

"Dan setidaknya aku sudah tidak peduli dengan semua itu, aku kini bersamamu. Apalagi yang akan membuatku bingung?" Ia tertawa kecil, kemudian menggandeng tangaku, membenamkan wajahnya pada lenganku.

Aku tau ia kedinginan, namun dingin hanyalah sebuah kata, bukan pula sebuah kalimat. Dan senja kali ini sungguh memikat, membuatnya menolak untuk pergi. Begitupula aku.

Kurengkuh tubuhnya lebih erat, membiarkannya merasakan sedikit rasa hangat. Kau tersenyum dan senja kini terasa lebih indah walau kelabu membingkai kota. Senja, masih nampak jingga dengan rintik hujan yang menghiasinya.

Matamu kini membulat antusias melihat matahari yang kian tumbang, melepaskan genggamanmu dan menengadah melihat kelabu, tak peduli seberapa basahnya wajahmu saat itu. Aku tau kau menyukainya, seakan kau dapat hidup lebih lama untuk menikmati setiap tetesnya. Dan aku bersamamu, hidupku terasa lebih lama untuk menikmati setiap detiknya. Bersamamu, bersama rintik hujan senja ini.

Satu kereta kini berhenti di stasiun, lampu sorotnya membelah gelap dan kabut sore itu. Membuat kita terlihat seperti sepasang siluet yang jatuh cinta pada cahaya sore. Dan tak lama kemudia kereta itu berangkat, membuatnya terlihat seperti ular yang basah karena hujan.

Aku terus menatapmu yang menatap hujan. Dan aku melihatmu tak henti - hentinya menjulurkan tangan, merasakan dinginnya tetes hujan hingga ahirnya kembali memelukku karna kedinginan. Sangat erat. Dan aku menyambutnya dengan meletakan daguku pada rambutmu yang wangi. Edelweiss pun iri dengan wangimu.

Seminggu telah berlalu sejak pertemuan pertama kita, dan setelahnya kita banyak menghabiskan waktu - waktu bersama. Dan sore ini adalah hari dimana kau memindahkan semestaku padamu. Tanpa banyak kata, hanya perasaan baru yang kurasakan terus datang di setiap rintiknya.

Ia kini tersenyum.

"Ini adalah senja pertamaku bersamamu dan akan jadi senjaku bersamamu" Ucapnya lembut, tangannya menggengam sisi sweaterku.

Aku tau itu, Dine.

Dan aku tau kau takkan pernah beranjak walau semili, momen ini terlalu lembut untuk di habiskan dalam satu tegukan besar. Dan matahari kini bersiap untuk tenggelam pada peraduan, 47detik hingga ia tenggelam, dan itu adalah waktu - waktu terbaik dimana aku bisa melihat senja yang indah di mata birumu yang meneduhkan.

Dan kau pun tau... Jika aku takan beranjak walaupun semili darimu. Hujan ini memikatku dan matamu memenjarakanku pada senja.

"Kau tak perlu khawatir, Dine. Aku ada bersamamu walau hujan hanya akan semakin lebat, aku akan ada disini hingga kau lelah menghabiskan senja, bahkan hingga bintang mulai berpendar di atas kita" Kataku lembut. Dan ia hanya tersenyum, kembali membenamkan wajahnya pada pelukku.

Aku tersenyum.

Kini aku rengkuh tubuhnya lebih erat, kukecup rambutnya, dan ku benamkan diriku pada wanginya. Membuatnya berpaling padaku, menatapku dengan hujan di sore itu.

Ku usap perlahan pipi lembutnya dan ku benarkan anak rambut yang menutupi mata birunya.

"Rean..." Ucapnya lembut, aku tak menanggapinya, menutup bibirnya dengan jemariku dan ku kecup keningnya dengan lembut. Ia terlihat memejamkan matanya, hanyut pada perasaan yang membawanya jauh.

Aku kini tersenyum lembut padanya, pipinya bersemu semakin merona. Ia kini menurunkan jemariku dari bibirnya.

"Pejamkan matamu,Rean. Lakukan untukku" Pintanya lembut. Ia kini telah melepaskan pelukannya.

"Apa yang akan kau lakukan Dine?" Aku kini terlihat sedikit bingung, tak mengerti apa yang sebenarnya coba ia lakukan, namun aku tidak dapat menolaknya dan perlahan mulai memejamkan mataku.

"Pejamkan saja, Rean. Aku hanya akan mencium bibirmu" Ucapnya menggodaku.

Dan bahkan sebelum sempat aku menerjemakan kalimatnya, ia sudah mencium bibirku dengan lembut, merangkulkan kedua tangannya pada leherku. Membuatku semakin hanyut pada hujan senja ini.

Aku kini dapat merasakan bibirnya yang lembut dan hangat, membuatku kembali mendekapkan tubuhku lebih erat, melingkarkan tanganku pada pinggulnya, dan membalas mencium bibirnya dengan amat sangat perlahan.

Membuat waktu terasa lebih cepat berlalu, hingga bintang - bintang telah terlihat berpendar membelah kelabu. Dan saat itulah ahirnya kau dan aku memutuskan untuk pulang, menikmati cahaya temaram dan rintik mesra di bawah payung merah milikku.

***

Kereta yang kunaiki kini telah mulus berhenti di Stuttgart Central Station, memutus indah waktu - waktuku bersamamu. Waktu dimana kau berada lebih dekat dalam pelukanku.

Aku kini telah merapikan pakaianku dan mulai melangkah keluar dari gerbong kereta ICE yang kunaiki, menghirup napas panjang dan mulai menjejakan kakiku menuju alun - alun kota tempat festival musim semi di langsungkan.

Andai kau ada disini bersamaku. Kau pasti akan menyukainya, Dine. Dan mungkin aku harus memikirkan seribu alasan untuk dapat membawamu pulang.

***

Masih penasaran dengan kelanjutan ceritanya?

Don't forget to Voment guys!
Thanks

RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang