Rean POV
Pagi masih terasa sangat dingin, belum ada sinar yang menembus dedaunan, hanya menampakkan semburat jingga yang menggantung di langit, dan embun yang menggelayut di ujung - ujung dedaunan.
Pagi ini akan jadi pagi yang tak akan terlupakan, ada hal yang sudah kurencanakan semalam sebelumnya. Bertemu denganmu.
Kulirik pergelangan tanganku dengan gemas, pukul 5.30.
"Kau masih saja sama Dine" Terlambat, dan mungkin kau akan datang seperti biasanya, menghampiriku dengan tatapan penuh permohonan maaf. Tak apa, aku menyukainya.
Taman kota terasa sepi, pepohonan membisu dan burung - burung masih enggan untuk berkicau.
Aku masih tak bergerak dari tempat dudukku, mengedarkan pandangan ke sekitarku, mencari tanda - tanda kehadiranmu.
Dua cup Coklat panas di sampingku masih mengepulkan uap panasnya, masih belum terlambat untuk menikmati waktu - waktu terbaik pagi ini. Belum terlambat untuk mu datang dengan senyum itu.
Aku menghembuskan satu nafas panjang, mulai bosan dengan keadaan.
Hari kini semakin terang, burung - burung mulai berkicau dengan riang nya, angin membelai mesra dedaunan dan pepohonan mulai menari karenanya. Kau pun tak kunjung datang.
Namun tak sampai aku menghembuskan nafas panjang keduaku, kau telah mengisi kedua mataku dengan indahmu. Berjalan dengan anggun nya diantara pepohonan rindang. Kau sangat cantik pagi ini.
Kau menghampiriku dengan langkah kakimu yang jenjang, tersenyum manis menyapaku
"Selamat pagi Rean! Maaf aku terlambat! Kau tidak menangis seperti biasanya bukan?".
Aku menggeleng, menunjukkan ekspresi terkonyol yang pernah ku punya untuk membalas perkataannya.
"Minumlah sebelum dingin Dine" kataku sembari memberikan satu cup Coklat panas padanya dan mulai menyeruput nya sedikit demi sedikit.
Sisa pagi itu kita habiskan dengan menikmati dua cup Coklat panas, hanya untuk kita berdua dan tidak untuk burung - burung yang riuh rendah di atas kita. Biarkan mereka bernyanyi untuk kita.
Kau bercerita bagaimana coklat itu terasa sangat enak, terasa hangat, dan bagiku tak ada dingin pagi itu, dan kau pun tahu alasan mengapa matahari terbit terlambat.
"Kau tahu Dine? Kau terlihat begitu cantik pagi ini" Kataku memuji, sembari menatap monumen kota di seberang taman.
Kau menengok ke arahku, menyandarkan kepalamu di bahuku.
"Aku tahu itu Rean, aku dan kau selalu tahu itu" Balasmu, kemudian melingkarkan kedua tanganmu di lengan kananku.
"Dan aku berharap kau bukanlah vampire Dine, tahu mengapa? Aku takut kau pergi sebelum kita menghabiskan fajar ini". Kataku usil, meledekmu.
Mendengarnya kau langsung mengangkat kepalamu, dan melepaskan genggamanmu.
Kini kau memelototiku dengan sebalnya, berkacak pinggang dan kemudian mencubitiku dengan gemas. Namun kau pun tahu, aku selalu menyukai momen dimana kau berpura - pura sebal padaku. Dan aku tak bisa menghindar.
Akhirnya kau pun berhenti, dan berkata
"Aku sungguh berharap bahwa aku yang sekarang adalah seorang manusia serigala yang lapar, dan ingin sekali menjadikanmu sebagai sarapan pagiku". Balasmu mencoba meledekku dengan bergaya seperti seorang manusia serigala di depanku.
Tawa kembali menghiasi pagi itu, kau tertawa atas lelucon mu, dan aku tertawa atas tingkahmu yang begitu konyol saat itu.
Kau kembali bersandar di bahuku dan melingkarkan kedua tanganmu lagi. Waktu terasa begitu cepat berlalu bila kau bersandar di bahuku.
"Kau tahu apa yang aku fikirkan sekarang Rean? Aku berharap mempunyai banyak benda ajaib untuk menghentikan waktu di sekitar kita, menahan kita di sini". Katamu seraya menatap langit, berharap apa yang kau katakan akan terjadi saat itu juga.
Waktu kian beranjak dan fajar telah sepenuhnya terbit di ufuk timur, burung - burung merpati keluar dari rumah - rumah mereka, berterbangan di atas kita menuju monumen kota.
Dua cup Coklat panas telah kita habiskan, dan yang tersisa hanya fajar untuk kita habiskan. Kulingkarkan tanganku padamu, merengkuhmu lebih erat.
***
Matahari kini kian meninggi, cahayanya menyilaukan, tak lagi seramah fajar. Aku berusaha menghalau nya dengan kedua telapak tanganku. Namun gagal.
Cahayanya semakin terang, mengaburkan segala yang kulihat, kini tak ada yang bisa ku kenali kecuali putih sepanjang mata memandang. Aku mencoba menutup mataku, namun cahayanya masih terasa menyilaukan.
"Nadine? Nadine?!" Tidak ada jawaban.
"Nadine! Jawab aku!" Tetap tidak ada jawaban.
Kini aku merasa sangat cemas, detak jantungku meningkat.
Semuanya terasa sangat sunyi, hingga aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri yang semakin meningkat.
Mungkin seseorang telah menempatkanku di sebuah ruang kosong kedap suara. Mencoba memisahkanku dengan dunia yang ku kenal.
Semua ini sungguh menggangguku.
Dan saat kubuka mataku kini yang terlihat hanya semburat sinar fajar yang menembus tirai - tirai kamarku.
Aku terbangun dengan kenangan - kenangan lama yang membanjiri kepalaku.
"Kau memaksaku memulai semua ini dengan bayang - bayangmu Dine"
"Kau masih ingat semua itu Dine?" Pikirku.
Sudah saatnya aku memulai hari ini dengan mengenang mimpi - mimpi tentangmu, mengenang apa yang tak bisa kita ulang.
"Mungkin menghabiskan beberapa waktu di taman, dapat membuatmu datang lebih manis dari pada yang kau lakukan pagi ini..."
Author POV (H-7 sebelum kepulangan Rean)
Sinar fajar pertama menelisik tirai - tirai kamar Rean, menyilaukan matanya yang masih kuyu, ia berusaha menghalau nya dengan kedua telapak tangannya. Namun gagal.
Ia terbangun dengan mimpi yang masih membekas, kenangan - kenangan itu kembali membanjiri kepalanya.
"Kau memaksaku memulai semua ini dengan bayang - bayangmu Dine".
Jalanan Berlin lengang, hanya sedikit yang sudah memulai aktivitas mereka di pagi hari.
Rean bangkit dari tidurnya, duduk di tepi tempat tidurnya, tertunduk, mengusap wajahnya.
"Kau masih ingat semua itu Dine?" Pikirnya.
Kini Ia telah bangkit dari duduknya, berusaha memulai hari dengan mengenang mimpi - mimpi tentangnya.
"Mungkin menghabiskan beberapa waktu di taman, dapat membuatmu datang lebih manis dari pada yang kau lakukan pagi ini..."
Masih penasaran dengan kelanjutan ceritanya?
Don't forget to Voment guys!
Thanks