Nadine POV
SUDAH dua tahun ia pergi
Kabarnya besok ia akan datang dari Berlin, setelah ratusan senja yang ia lewatkan...
Aku tak tahu harus bagaimana, haruskah aku bahagia? Atau mungkin bertanya-tanya mengapa ia sampai pulang.
Rindu mungkin masih bergaung di kepalaku, bayangan tentang bunga-bunga manis mungkin belum sepenuhnya terbakar saat ia pergi.
Namun aku masih belum lupa bagaimana ia pergi,
Dua tahun yang lalu...
***
Malam yang dingin.
Hujan membungkus kota kecil kita. Bulan tak nampak dalam gulita, dan bintang - bintang kecil bersembunyi dalam abu-abu, takut untuk menampakkan diri di antara hujan yang mungkin akan memperjelas semua ini.
Lampu - lampu jalanan menari dengan indah diantara gemercik tetes hujan yang semakin deras, kau masih menatap kosong hujan di depanmu, mungkin hujan di suatu tempat di dalam dirimu lebih mengerikan daripada yang nampak di depanmu.
Sesekali ia merapatkan jaket yang ia kenakan, menahan dingin yang mulai tak bersahabat. Belai angin yang tak ia rindukan. Ia masih diam, meninggalkan hujan yang semakin sepi. Uap keluar di setiap hembus napasnya yang berat. Helaan napas tertahan.
Hari ini langit tampak muram, namun ia tetap terlihat manis di kesenduannya.
"AKU tidak punya pilihan lain, Dine. Aku harap kau dapat mengerti keputusanku. Aku tau ini memang berat untuk kita berdua. Namun aku tidak bisa menolak kesempatan ini." Ucapku lembut.
Senyum tipis terlukis di wajahnya. Getir.
"Katakan apa yang menahanmu untuk pergi ke Berlin? Katakan!" Jawabmu lirih
"AKU tak akan pergi... tidak sekarang." Jelasku datar.
Kini kau tertunduk. Rasanya diammu kini semakin menusuk dan tajam.
"Sudah aku duga, aku pikir mimpimu ada di sini bersamaku. Kau tau? Mimpiku masih tetap sama, dan takkan pernah berubah."
Kau terlihat manis walaupun malam tampak sendu.
"Aku hanya butuh dua tahun untuk menyelesaikan study-ku, orang tuaku memaksa aku agar menerimanya. Kau tau kita pernah membicarakan ini sebelumnya, kau pun sudah tau jika aku mendaftar sebagai calon kandidat penerima beasiswa di Jerman."
"Aku berharap kau secepatnya pergi, Rean" Ia kini kembali tertunduk.
Tuhan, ia tampak cantik malam ini walau hujan membalutnya dalam dingin, tetap indah walapun ia balut bulan dalam hujan. Dalam bisu aku berharap kau mendengarku dan dalam bisu aku berharap aku mendengarmu.
***
Sudah satu minggu Nadine menolak bertemu. Alasannya variatif, dari ia mulai banyak interview pekerjaan, membantu mamah membuat kue bahkan tanpa alasan sekalipun. Telepon pun tak pernah ia angkat, apalagi pesan-pesanku, ia membalasnya satu atau dua jam setelahnya. Aku tahu apa yang terjadi padanya, hanya saja aku tak pernah tahu isi hatinya. Yang jelas aku bukanlah ahli nujum.
Baru kali ini dia bertingkah, sebelumnya dia adalah gadis normal yang tidak banyak mengkode, apapun yang ia inginkan pasti ia katakan dan selama keinginannya bisa kupenuhi maka kenapa tidak?
Kami berdua sepakat bahwa kode adalah hal paling bodoh yang pernah dilakukan oleh pasangan kekasih. Hal paling tidak logis. Dan kami membenci itu.
Namun, lain halnya dengan sekarang, ia diam hingga malam, dan waktuku tak banyak. Lusa aku sudah harus pergi ke Berlin, kehidupan baru telah menungguku, kehidupan dengan banyak bayang-bayang... Hanya dua tahun.
***
"Dua tahun tanpamu akan membuat perbedaan, Rean. Jangan kau pikir semua ini mudah bagiku!"
"Kau bisa sesekali mengunjungiku saat libur semester, Dine. Atau kau mungkin bisa tinggal bersamaku di Berlin" Jelasku sembari menggenggam tangannya, seraya meyakinkan bahwa hal itu mungkin. Namun ia spontan menepisnya.
"Jadi sebodoh itu kah dirimu?! Kau pikir aku dapat semudah itu mengunjungimu? Tinggal denganmu? Kau pasti bercanda! Bahkan di saat seperti ini pun kau masih mengatakan ketidakmungkinanku".
Ia kini tertunduk dalam - dalam, meremas jemarinya hingga memerah, hujan telah berhenti namun gerimis menghiasi mata indahnya.
Malam semakin pekat, membungkus jalanan yang semakin lengang, awan mendung masih menghantui langit di atas kita, dan awan yang sama juga masih menaungi wajahnya.
Dingin masih terasa mesra menemani, aku bisa melihat bagaimana ia merengkuh tubuhnya, merasakan dingin yang kian erat memeluk.
Aku tertegun, tak tau harus berbuat apa. Bodohnya aku.
"Pergilah... Kau sudah bukan siapapun lagi di malam - malamku, di fajar dan senjaku, kau bukan dan tak akan ada lagi di embun dan kabutku, kau bukan dan tak akan ada lagi di dingin dan hangatku. Jadi, pergilah... kumohon..." Pintanya dengan nada lirih di setiap patah katanya.
Aku kini mendekat padanya, mendekapnya saat tubuhnya mulai bergetar menahan tangis.
"Tolong, pergilah..." air mata kini menetes, bersamaan dengan hujan yang kembali membungkus kota.
Dan aku kini bungkam seribu bahasa melihatnya menangis. Lidahku terasa kelu, ini adalah kali kedua ia membuatku terpaku, tubuhku mati rasa, namun semua ini berbeda dengan saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Perlahan Nadine melepaskan pelukannya, menatapku dengan rasa lelah dan air mata.
"Pergilah!" Ia berteriak, beranjak dan berlari meninggalkanku, merapatkan jaket dan terus berlari.
Perlahan mataku basah oleh sesuatu yang mulai mengalir perlahan. Kabut mengambang menelan tubuhnya yang bergetar menahan tangis. Lampu-lampu jalanan terlihat membaur saat ia mulai berlari. Dan bodohnya aku, terpaku pada kabut ini. Ya tuhan, ia cantik walau ia balut bulan dalam abu-abu kesedihannya.
"Maafkan aku, Dine..."