STASIUN itu cukup ramai oleh para penumpang yang hilir mudik di peron. Aku kini telah menaiki tangga menuju jalan protokol.
Aku harus segera menuju Baden-Wüttemberg untuk menikmati Festival Musim Semi yang di selenggara kan di sana. Dan hari ini adalah hari pembukaan acara tersebut, di sana pasti akan terasa sangat meriah, dan aku harus bergegas sebelum terlambat.
Jalanan terlihat ramai, mobil - mobil pribadi terlihat hilir mudik sepanjang jalan, dan beberapa transportasi umum terlihat menaik—turun kan penumpang di sepanjang trotoar yang di sediakan khusus untuk pejalan kaki.
Di Jerman kita mempunyai banyak pilihan kendaraan untuk menuju tempat yang kita tuju seperti Bus Pariwisata, S-Bahn, Trem, dan banyak transportasi lainnya. Namun kali ini aku hanya akan menggunakan jasa Taxi, menghemat waktu walaupun biayanya akan sedikit lebih mahal.
Tak apa, aku masih memiliki sedikit uang untuk sehari menghabiskan waktu di Stuttgart, menikmati Festival yang tak pernah ada di Indonesia. Dan jarang sekali aku menikmati waktu - waktu di luar Berlin.
Aku kini telah mengenakan topi NASA favoritku, berdiri sejenak untuk mengamati area sekitar jalan protokol. Dan tak butuh waktu lama, aku kini telah mendapatkan tumpanganku, duduk relaks di kursi taxi yang empuk, dan sesekali berbincang untuk menentukan rute yang akan aku ambil menuju Baden-Wüttemberg.
Memang untuk sampai di sana aku memiliki dua option rute yang dapat aku tempuh, namun sepertinya aku hanya akan mengambil rute yang sama dengan tahun lalu. Jalur yang menyuguhkan lebih banyak pemandangan hijau.
Dan salah satu alasan mengapa aku selalu memilih rute yang sama setiap tahunnya adalah untuk menghindari jalanan kota Stuttgart yang padat dan menjauh dari suara bising kendaraan. Setidaknya rute yang kulalui ini lebih menyuguhkan apa yang aku butuhkan.
Keindahan alam pedesaan di Jerman yang terkesan classic.
Kendaraan yang kunaiki kini telah berjalan mulus di jalanan aspal, meninggalkan Stuttgart Central Station, dan mulai menjajaki jalan menuju pedesaan Jerman yang asri.
Dan tepat ketika kami telah benar - benar meninggalkan pusat kota, hal yang pertama aku lihat sejauh mata memandang adalah ladang dan perkebunan warga lokal, mengisi mataku dengan warna Hijau dan Oranye, Jagung dan Gandum, dan masih banyak lainnya.
Sungguh ini benar - benar memanjakan mataku. Andai aku bisa berlari di antaranya, membawamu masuk menuju hijau dan tak pernah kembali.
Entahlah, itu 'takkan pernah' mungkin terjadi.
Taxi ku kini telah sempurna berhenti di area parkir, 30 menit perjalanan. Setelah aku mengecek semua barang bawaanku tidak ada yang tertinggal. Aku segera membayar dan turun dari mobil.
“Thausend Dank !” Sopir itu mengucapkan terimakasihnya padaku.
Aku hanya mengangguk takzim dan tersenyum untuk kemudian melangkah masuk menuju tempat Festival.
Dalam Festival ini, setiap pengunjung yang masuk tidak akan di kenakan tarif masuk, dan hanya akan di kenakan tarif jika kita ingin menaiki salah satu wahana yang ada. Dan di Festival Musim semi ini terdapat banyak sekali wahana permainan yang bisa kita nikmati, sama halnya seperti di Dunia Fantasi (Dufan), hanya saja di Frühlingsfest kita dapat menemukan lebih banyak lagi daya tarik yang lain.
Salah satunya adalah festival minum bir seperti yang biasa di adakan pada Oktoberfest, hanya saja pesta minum bir di Musim Semi, tak semeriah saat Oktoberfest.
Semua orang di sini terlihat sangat antusias dan gembira, corvetti beterbangan di atas mereka, turun bagai salju di musim dingin, menambah atmosfer kegembiraan di antara mereka. Wahana - wahana permainan terlihat penuh dengan antrian, silih berganti mereka menikmati satu wahana ke wahana lain. Jalanan padat dan tenda - tenda bazar penuh dengan pengunjung.
Aku telah mengeluarkan kamera polaroidku, mengabadikan beberapa momen yang menurutku epic. Satu cetakan untuk satu kali jepretan.
Di sini waktu berjalan terasa sangat cepat, satu persatu wahana permainan telah aku coba. Hysteria, Roller Coster, Rumah Hantu dan banyak lagi lainnya, namun aku menyisakan Bianglala untuk jadi wahana permainan yang terakhir kunaiki.
Wahana ini memang selalu mengingatkanku padanya. Yah, dia memang selalu saja merengek jika ia melihat Bianglala, memaksaku untuk menemaninya naik wahana itu. Dan aku tak keberatan untuk menemaninya. Duduk berdua di atas ketinggian, hanya berdua. Menatap langit, menggengam tangan, dan menikmati mata birumu.
Hanya saja dan hanya saja, kau jauh di seberang lautan.
Dan aku kini aku berayun di atas ketinggian hanya seorang diri. Menyeruput coklat panas di tanganku dan bersandar lebih dalam pada tempat duduku.
Harusnya dan harusnya kau ada di sini, Dine. Di sampingku. Menikmati coklat panas kesukaan kita dan berbincang mengenai awan - awan di atas kita yang begitu menggemaskan. Ya, seperti permen kapas.
***
Hari kini semakin beranjak dan menguning. Kini aku telah duduk di salah satu tenda bazar, memesan minuman dingin dan beberapa Schokofrüchte Himbeeren yang jadi favoritku saat mengunjungi Festival ini.
(Buah dengan balutan coklat)
Hanya 5 Euro dan kalian telah mendapatkan kelezatan dari dunia lain.
Aku kini telah membuka tas selempang milikku, memeriksa setiap cetakan foto yang ku ambil hari ini. Cukup banyak. Cukup untuk jadi setiap kenanganku di Jerman.
Minumanku tandas, dan camilanku hanya menyisakan tusuknya saja. Hari ini aku sangat lelah, setelah seharian berkeliling. Mungkin sudah saatnya aku pulang.
***
Bonus!
Masih penasaran dengan kelanjutan ceritanya?
Don't forget to Voment guys!
Thanks