KU kayuh sepedaku menjauh dari keramaian kota, masih ada tempat-tempat dengan lebih sedikit polusi di kota ini, pinggiran kota.
Tempat dengan banyak hal-hal menakjubkan di kala senja, dan kau ada di jok belakang sepedaku, semuanya tak akan jadi lebih buruk seperti raung knalpot jalanan.
“Ku dengar besok adalah hari wisudamu Dine?”
“Kau tau dari mana Rean? Kau menguping pembicaraanku yah?”
“Aku mendengarnya dari Tya, dia yang bercerita kepadaku. Aku pasti datang”
“Aku tidak memintamu datang, tapi jika Edelweiss yang kau bawa mungkin kau boleh datang” Ia tertawa kecil meledekku.
“Kalau begitu sudah kuputuskan!”
“Apa?” Ia bertanya.
“Kau akan tau Dine… Kau hanya harus menunggu hingga senja tenggelam”
Tak ada sepatah katapun yang terucap setelahnya. Hanya genggamannya yang semakin erat menuju senja.
Setelah beberapa lama mengayuh, akhirnya kami berdua sampai di padang rumput pinggiran kota, tak cukup luas, hanya saja pemandangan disini lebih baik dari semua tanah lapang yang ada di kota ini.
Kami berdua duduk menghadap senja, menanti hingga cahaya keemasannya membalut kami dalam kilaunya.
“Aku akan mengajakmu mendaki gunung, menikmati kabut tipis dan bunga-bunga manis di puncak tertinggi provinsi kita dan….”
“Aku mau! Aku mau… tak perlu ada penjalasan lain. Aku mau…!” Potongnya.
Kini ia tersenyum selebar cakrawala, senja ada bersama bibirnya yang manis dan kata-katanya membuatku terhenti. Lidahku terasa lemas dan aku anggap semua itu sebagai tanda bahwa takan ada rencana batal.
“2 Hari setelah hari wisudamu Dine, aku akan menyiapkan segalanya untumu. Ini akan menjadi perjalan untuk kita berdua, hanya berdua”
“Dan sebaiknya begitu” Katanya seraya merebahkan kepalanya pada pundakku. Menikmati senja sedikit demi sedikit hingga bintang berpendar dan aku mengantarnya pulang hingga di depan pintu rumahnya. Entah ini kali keberapa aku mengunjungi rumahnya.
“Aku harus segera pulang Dine. Berdandanlah secantik mungkin. Aku tidak akan memintaimu foto jika dandanmu seperti biduan tak jelas”. Mendengarnya ia langsung mengembangkan pipinya, dan berpura-pura sebal. Aku tak payah menanggapinya. Aku suka dengan hal semacam ini di setiap kali aku mengatakannya.
“Lihat saja besok, aku pastikan kau hanya akan terlihat seperti keju dalam penggorengan” Ledeknya lantas memberikan senyuman terbaiknya dan aku segera berpamitan dan mengayuh sepedaku kembali ke rumah. Aku tak sabar menunggu hingga 3 hari kedepan.
***
Aku sampai di apartemenku pukul 7 malam setelah banyak berkeliling daerah berlin dengan kenangan yang menggaung di kepalaku untuk terakhir kalinya, karena besok aku harus segera menuju bandar udara dan tak boleh sedetikpun telat. Emma dan Louis sudah berjanji akan mengantarkan aku sampai lobby keberangkatan, dan aku tak keberatan dengan hal itu. Mereka sudah seperti keluarga baruku di Jerman dan aku akan senang sekali dengan hal itu.
Sepulang berkeliling aku tak langsung merebahkan badanku dan tidur. Masih ada banyak yang harus aku bereskan di kamar. Emma masuk ke kamarku pukul 8 dan banyak membantu mengemasi dan merapihkan barang-barang yang besok akan aku bawa. Aku hanya akan membawa satu koper dan satu tas. Sisa barang yang tak terpakai telah aku serahkan ke Emma untuk di sumbangkan.
Dan pada pukul 9 segalanya telah selesai di bereskan dan rapi. Emma telah berpamitan kembali menuju lobi dan kantuk kini telah turun mengisi kamarku. Aku telah mengirim E-mail pada teman-temanku di Indonesia bahwa besok aku akan kembali.
Belum ada balasan dan aku telah terlelap saat sebuah E-mail baru masuk.
Pengirim : Nadine
Subject : Akhirnya kau pulang, Rean…