Siluet April

92 9 4
                                    

Rean POV (H-7 sebelum kepulangan Rean)

RASANYA nikmat menikmati kopi di musim semi. Gerimis lembut membelai bunga - bunga yang mulai mekar di bulan April, namun sayang sekali sudah dua tahun ini aku tak melihat Edelweiss mekar. Bukan karna di Jerman tak ada gunung untuk aku daki, melainkan tak ada seorangpun yang bisa ku ajak mendaki.

Andai kau ada disini bersamaku, Dine. Aku takkan bingung harus dengan siapa menikmati musim semi dan Edelweiss.

Sama seperti saat - saat itu. Entah datang dari mana aku mendapatkan keberanian mendekatimu. Mengajakmu berdansa dan menemanimu pulang. Dan sejak saat itu pula aku tak pernah bingung harus dengan siapa aku menghabiskan waktu - waktu yang sunyi.

Kopi hitam di mejaku terlihat setengah penuh namun pastry di mejaku tandas tak tersisa. Perjalanan pulang dari taman V. Friedrichshain memang selalu membuatku lapar, dan Louis selalu tau porsiku, cemilan ekstra jumbo.

Di luar langit mulai menguning, dan gerimis nampaknya telah sepenuhnya menguap, menyisakan pelangi yang indah menyambut senja. Lampu - lampu tua mulai di nyalakan dan jalanan mulai terlihat lebih klasik. Nampak terlihat bahwa jalanan ini adalah bagian dari kisah klasik untuk masa depan.

Louis tak mau kalah tuanya dengan jalanan, ia kini menyalakan seluruh lampu - lampu tua di dalam cafénya. Tanda bahwa aku harus segera kembali ke apartemen. Aku harus beristirahat. Aku harus membalas E-mail dari kawan - kawanku di Indonesia yang selalu menanyakan kepulanganku. Terutama Daviska, Tya dan John.

Namun tidak dengan Nadine. Entahlah... aku sudah tidak mendengar kabar Nadine dari siapapun.

Aku kini meneguk kopi hitamku untuk terakhir kalinya, berdiri dan merapatkan sweter yang ku kenakan. Menuju Louis yang sedang mengelap gelas - gelas cantik miliknya.

"Louis, aku rasa Emma mungkin mencariku" Seruku padanya yang dengan spontan menghentikan gerakan tangannya, dan terseyum ramah padaku.

"Kau sudah selesai menghayal Rean? Astaga tumben sekali kau pulang secepat ini" Ia tertawa saat melihat wajahku yang berubah memerah. Sepertinya ia tau sekali apa yang selalu ku lakukan disini. Melamun dan menghayal.

"Ayolah Louis, ada hal yang harus aku lakukan di apartemen. Dan sepertinya teman - temanku di Indonesia merindukanku" Ia kembali tertawa dan aku ikut tertawa pada gurauanku sendiri.

"Sampaikan salamku pada mereka"

"Pasti akan aku sampaikan Louis"

"Oia, ada satu hal lagi. Berikan ini pada Emma" Louis kini dengan cekatan telah memberikan bingkisan dalam kertas berwarna cokelat kepadaku.

"Baiklah, akan kusampaikan juga salammu untuknya" Kataku sembari menerima bingkisan darinya.

"Terimakasih Rean, dan untuk semua yang kau makan tadi. Anggap saja itu bayaran untuk rasa terimakasihku padamu karna sudah mau mengantarkan ini pada Emma" Tegasnya sambil berkacak pinggang, dan kembali tertawa.

"Astaga kau ini bos yang baik Louis! Terimakasih. Baiklah aku pergi dulu. Sampai jumpa Louis" Louis membalasnya hanya dengan tersenyum dan mengangkat tangannya dan aku kini telah melangkah pergi. Menuju keramaian dan kembali berbaur dengan pejalan kaki lainnya yang mulai satu persatu kembali ke apartemen mereka masing - masing.

Dan matahari kini siap menghujam cakrawala, 47 detik menuju gelap. Langit kini semakin indah dengan siluet burung - burung mungil yang terbang berkejaran, dan aroma bunga sore ini menambah kental suasana senja di musim semi. Ini yang selalu kurindukan dari musim semi.

Mantap aku menjejakkan kaki di atas trotoar, dan malam yang lembut kini mulai membungkus berlin.

Berjalan satu blok bukanlah hal yang melelahkan, dan itu terjadi seperti sekejap mata, karena apa yang di suguhkan jalan ini sungguh menghipnotisku. Dan kini aku telah sampai di depan apartemenku, lantas segera membuka pintu dan masuk untuk menyapa Emma, sedikit berbincang dan kemudian memberikan bingkisan yang Louis titipkan untuknya.

RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang