PUKUL 8.57… ASTAGA! Aku akan terlambat!
Sial! Bagaimana aku bisa lupa? Ia pasti sudah berada di sana, duduk menikmati Saturnus dan aku tidak akan melewatkan “Dance of Saturn” untuk malam ini. Aku harus bergegas ke sana, aku tak boleh terlambat.
Kini aku telah mantap berlari menyusuri jalan setapak di taman kota, tempat di mana aku sudah lebih dari 3 jam melamun dan mengusir bosan yang melanda, sampai - sampai aku lupa bahwa Dance of Saturn akan di mulai hanya dalam hitungan menit.
Lampu - lampu temaram kini hanya terlihat seperti kilatan tak berbekas, dan tak peduli lagi aku dengan lampu - lampu itu, kupacu lariku sekencang mungkin, bahkan aku sudah tak peduli lagi pada rambutku yang mulai terlihat seperti hantu penunggu jembatan.
Tapi semua itu tak berlangsung lama, baru beberapa ratus meter nafasku sudah habis, tersengal aku di buatnya. Walaupun letaknya tak terlalu jauh, tetap saja, untuk ukuran perempuan yang jarang berolahraga sepertiku ini sungguh menguras tenaga. Dan satu hal lagi, hujan deras kini mengguyur kota, membungkusnya dalam gelap dan dingin.
Lengkap sudah malam ini.
Namun aku sungguh tak peduli. Aku harus bergegas sebelum aku menjadi semakin basah dan kedinginan, dan aku telah melanjutkan lariku, berbelok dan terus menyusuri jalan taman kota hingga ahirnya harapan muncul di depan mataku. Itu dia tujuanku, Café Saturn, dan tanpa menunda - nunda waktu lagi, aku mempercepat lariku dan berhenti tepat di depan pintu masuk café tersebut.
Finally!
Aku bergegas masuk. Bel berdentang keras, dan pria di balik meja bartender kaget saat melihatku masuk dengan sweter basah. Namun aku tak mengindahkannya, aku segera menempati tempat duduk favorit ku, meja dengan posisi paling dekat dengan jendela yang langsung menghadap ke arah guyuran hujan di luar.
Beruntunglah aku masih belum terlambat. Namun semua ini cukup melelahkan, dan sweater ini cukup membuatku kedinginan.
Malam ini banyak sekali kursi yang kosong, mungkin karena hujan di luar belum juga mereda. Tak apa, aku tak peduli. Ku lirik pergelangan tanganku, pukul sembilan tepat. Ini dia momen yang selalu ku tunggu tunggu. Dance of Saturn, di mana semua orang akan menari di antara alunan musik klasik dengan di temani oleh nyala lilin - lilin mungil. Semua ini sungguh layak untuk di nikmati.
Dan di luar semua itu, tempat ini adalah satu - satunya tempat di mana aku bisa melihat ia duduk diam menikmati musik klasik di café ini setiap malamnya. Namanya Rean, sudah lama aku menyukainya, hanya saja aku belum mengenalnya secara langsung.
Aku hanya mengenalnya melalui John, pria di balik meja bartender dan Daviska teman dari Rean. Namun kurasa semua itu sudah cukup bagiku. Aku ada disini dan kau ada di sana melengkapi malamku. Namun malam ini aku belum melihatnya, mungkin ia terjebak hujan dan tak datang kemari. Entahlah, mungkinkah kau mengetahuiku Rean?
***
Lampu - lampu kini telah di padamkan dan lilin - lilin mungil mulai satu persatu di nyalakan. Alunan musik klasik mengalun pelan menyambut temaram dan aku masih menatap hujan yang mengamuk di luar, enggan untuk melihat mereka yang mulai satu persatu meninggalkan meja mereka masing - masing untuk mulai berdansa.
Aku tak tahu mengapa tiba - tiba seleraku hilang.
Hujan malam ini lebih menggodaku, dan musik ini memikatku. Namun tiba - tiba LED di smartphoneku berkedip. Ada pesan masuk, tapi dari siapa? Lantas aku mengaktifkan layar smartphoneku.
John.
“Ia ada disini, dan—ia—sedang—mendekati—mejamu” Entah apa pasalnya kini aku terasa amat sangat gugup. Ia mendekatiku? Yang benar saja? Ini sungguh membuat leherku kaku. Namun aku tau dia ada disampingku.