EMPAT hari yang lalu aku mengajaknya untuk mendaki gunung.
Tepat dua hari setelah hari wisudanya. Seperti halnya mimpi, kini ia meringkuk di sampingku, terlihat sangat pulas di dalam kantong tidurnya. Beringsut semakin dekat saat dingin memeluknya lebih mesra.
Kabut tipis mengambang di antara tebing - tebing hitam yang berdiri kokoh menantang biru dan lautan awan yang maha luas terhampar bak buih di lautan. Embun bergelayut di antara bunga - bunga manis di lembah itu, lembah kasih. Tempat di mana ia terlihat lebih cantik dan membuat bunga - bunga di lembah itu cemburu padanya.
Perlahan ia membuka mata, dan cahaya pertama hari itu menari indah di matanya yang teduh, ia menatapku dengan dengan rasa lelah yang luar biasa. Dan aku membalasnya dengan tersenyum…
“Selamat pagi…” Kataku lembut, membelai lembut pipinya. Ia masih dalam kantong tidurnya beringsut lebih dekat padaku.
“Aku kedinginan Rean, pukul berapa sekarang?”
“Kemarilah…” kataku seraya memeluknya dari kantong tidur miliknya. “Sekarang pukul 5.30, pertunjukan terbaik akan segera terjadi beberapa saat lagi”
“Apakah ini termasuk?” Ia kini mengencangkan pelukannya.
“Kau akan segera tau, segera setelah kau keluar dari tenda ini”
“Aku tidak mau, di luar pasti sangat dingin” Wajahnya kini semakin tenggelam, tau jika di luar tak lebih hangat.
“Terserah katamu, Dine” Balasku menyerah pada inginnya.
Waktu berjalan semakin lambat, angin lembah perlahan menembus tenda, langit kelam kini berangsur memerah.
"Rean… Semalam aku bermimpi mendaki gunung" Ucapnya sambil menguap lebar dan mengucek matanya yang sendu, melepaskan kantong tidurnya saat ia merasa itu tak perlu lagi, jaket yang ia kenakan sudah cukup tebal, hanya saja dingin mengalahkannya.
"Aku pun begitu” Balasku riang
“Bagaimana bisa???” Katanya cemberut.
“Mana aku tau” Kataku menengadahkan tangan “Hanya saja mimpiku lebih indah dari mimpimu, Dine” Lanjutku.
"Heeeeh?" Balasnya dengan tatapan menyelidik.
Mendengarnya aku tak langsung menjawab, ku biarkan aroma bunga - bunga manis itu membuatnya semakin penasaran, membiarkan wanginya menggoda. Aku kini menatapnya lebih dalam dan tersenyum lembut sembari memegangi pipinya yang menggelembung memerah.
"Bersamamu…”
Reaksi pertama yang ia berikan adalah keheningan yang nyata, kini bunga-bunga itu terasa menggodaku, tenggelam dalam rasa penasaran yang kubuat sendiri. Namun perlahan semu merah kini mengembang di kedua pipinya, senada dengan langit yang semakin memerah, menguning dan berubah jingga.
Sebagai balasannya ia memelukku erat, sangat erat. Hangat.
Saat itu pula angan terbawa jauh oleh wangi bunga-bunga yang melayang bersama angin puncak. Bagiku ia adalah rumah, sejauh apapun aku pergi, aku akan kembali pada dekapannya.
"Kau harus ingat, ini bukan mimpi, dan aku memelukmu secara nyata dan sukarela" katanya mengingatkan sembari tertawa kecil mengingat kalimat yang ia katakan sendiri.
"Ini termasuk?… " sebelum ia sadar akan pertanyaanku, aku sudah terlebih dahulu mencium keningnya.
Ia hanya terdiam, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, wajahnya semakin memerah, secerah fajar yang perlahan meninggi. Mengusir kabut yang merengkuh mesra bunga - bunga manis di lembah itu.