***
Suara lagu yang mengalun dari dalam headsetnya membuat Gigi terbawa sendunya. Untuk sesaat, ia benar-benar merindukan keluarganya yang utuh. Sesaat kemudian, ia menyesali perbuatan sang Papa yang membuat Mamanya bercerai.
"Hai, cantik." Mendengar Dion datang menghampirinya, Gigi mengusap bagian bawah matanya. Menghilangkan beberapa bulir air yang menggenang disana.
"Lo kemana kemarin? Ditungguin pas pulang jugaan," gerutu Dion pada Gigi. Yang ditanya hanya tertawa santai.
"Gue balik sama anak-anak, main ke rumah."
"Kok gue gak diajak?" celetuk Dion dengan mimik wajah yang ia main-mainkan layaknya anak kecil.
"Pake rok dulu sana."
"Hahaha."
Tak lama kemudian, Anne dan Vika pun datang bersamaan.
"Hai, couple," goda keduanya.
"Couple-couple, pala lu lonjong," balas Gigi, merapikan headset yang tadi ia pakai.
Anne duduk disamping Gigi, sedangkan Vika duduk disamping Dion.
"Jadi, kapan nih kalian meresmikan hubungan?" goda Vika
"Inget Gigi gak boleh jatuh cinta sama –" celetuk Anne yang disusul sebuah lemparan kertas dari Vika.
Dion hanya tertawa kecil saat kedua teman Gigi menggodanya. Sedangkan, Gigi, pikirannya seketika melayang pada saat Gaga mencium keningnya malam itu. Entah kenapa sejak kejadian itu, ia tidak dapat melupakan sosok bayangan laki-laki itu dari pikirannya.
Gigi tersenyum sendiri mengingatnya.
DING.
LINE.
Gaga menambahkan anda sebagai teman melalui nomor.
Keningnya berkerut setelah membaca notifikasi dari LINE tersebut.
Berselang beberapa detik, sebuah pesan popup dari LINE kembali mengejutkan.
Gaga; gue di depan kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgiven
Teen Fiction"Aku punya seribu keinginan, salah satunya adalah membahagiakanmu."