***
Gaga tersadar dari tidurnya. Mendapati sepasang kekasih yang sudah berdiri dihadapannya.
Ia sempat mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya ia dapat melihat jelas siapa sosok yang ada didepannya.
"Kalian..." lirih suara laki-laki itu tak dapat ia sembunyikan lagi.
Dihadapannya, sudah berdiri Gigi dan Dion. Gigi hanya dapat merunduk, tak kuasa melihat tatapan laki-laki yang masih terbaring di kasurnya.
"Kita kesini mau ngundang lo ke acara nikahan kita, Ga."
Gaga tersentak. Diliriknya sebuah undangan berwarna merah muda yang sudah ada diatas nakasnya.
Gigi & Dion.
Rasanya, seperti ada ribuan jarum yang menusuk hatinya saat ini. Bukan hanya sakit, tapi merasa kalau persahabatannya juga sudah dikhianati.
Dengan berat, ia berusaha untuk bicara,"Selamat ya untuk pernikahan kalian berdua." Gaga sekuat tenaga untuk menahan airmatanya.
"Kalian berdua cocok," katanya.
Gigi yang tak kuasa menahan airmatanya langsung pergi menjauh. Meninggalkan keduanya.
Ia tak dapat lagi membendung tangisannya, rasa sakitnya, juga betapa hancur hatinya saat ini.
Bahkan, jika bisa. Ia tidak ingin ada orang lain disekitarnya saat ini. Ia ingin tidur, merenung, menikmati kesendiriannya. Melewati rasa sakitnya.
"Thanks, Ga. Jangan lupa dateng." Dion mengembangkan senyum liciknya.
-
Gigi menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Hingga tidak seorang pun mampu mengganggunya.
Anne dan Vika berusaha mengetuk. Berharap Gigi akan membuka pintunya untuk mereka.
Gigi meringkuk. Menutup tubuhnya dengan selimut. Memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Membiarkan airmatanya terus terjatuh. Ia benar-benar tidak menyangka, kalau ini harus terjadi padanya.
Menikah dengan orang yang bahkan tidak ia cinta.
Miris, bukan?
Ia tidak menghiraukan sudah berapa lama kedua temannya itu menunggunya di depan kamar. Ia bahkan tidak menghiraukan rasa lapar yang menyergap.
Yang ia inginkan hanya sendiri. Melewati semua sakitnya sendiri.
Tangisnya terus terisak, sampai ia mendengar suara yang begitu familiar di telinganya.
"Gi.." ucap seseorang dari balik pintu kamarnya.
Gigi terkejut, ia bangkit dari posisinya.
"Can we talk?"
Gigi mendengarkan lamat-lamat suara laki-laki itu. Ia menyeka airmatanya. Membuka pintu kamarnya perlahan.
Tangisnya kembali menyeruak, kala pasang matanya melihat sosok Gaga berdiri dihadapannya.
Ia memeluk laki-laki itu. Erat.
Tak perduli berapa pasang mata yang menyaksikan. Saat ini, ia hanya ingin terus memeluk laki-laki itu.
Laki-laki itu mengusap punggung Gigi pelan. Mencium pucuk kepalanya dengan lembut. Dan, membalas pelukkannya dengan erat.
-
Gigi masih terus memegang tangan laki-laki itu. Ia bahkan tidak dapat memalingkan wajahnya sedetik pun dari laki-laki itu.
"Gigi, udah. Jangan nangis." Gaga membalas genggaman perempuannya.
"Kamu berhak dapet yang jauh lebih baik dari aku."
Gigi masih diam tanpa bicara.
"Hei, kemana Gigi yang selalu ceria? Yang sukanya nangkep pikachu? Atau, yang paling gengsi buat bilang kangen."
Gaga masih terus berusaha untuk menghentikan tangisan Gigi. Meredam gundahnya.
"Aku gak cinta sama orang lain selain kamu, Ga."
"Aku tau."
Gaga mengusap airmata Gigi dengan tangannya.
"Aku gak bisa hidup dengan orang yang gak aku cinta."
"Aku tau."
Dari balik rasa sakitnya, Gaga berusaha untuk tetap tegar.
"Aku cintanya sama kamu."
"Aku tau, Gi. Aku tau itu semua."
"Terus kenapa kamu diem aja? kamu gak berusaha buat –"
"Buat apa, Gi? Buat ngajak kamu kabur terus kawin lari? Nggak 'kan?"
Gigi terhenyak sejenak.
"Aku dateng buat ngucap salam perpisahan. Aku tau kamu bisa lewatin ini semua. Aku yakin suatu saat kamu bisa cinta sama dia."
Gaga mencium punggung tangan Gigi.
"Denger ya, Gigi Anastasha, aku akan selalu cinta sama kamu. Aku akan rela membiarkan kamu sama yang lain, kalo itu buat kebaikan kamu."
Selang beberapa menit, keduanya terdiam. Tidak ada yang bicara, sampai isak tangis Gigi mengisi kekosongan.
"Buat apa kamu dateng kalo Cuma buat bilang kayak gini?"
Gaga menatap luruh perempuan yang ada dihadapannya saat ini. Dengan sekuat tenaga, ia mengembangkan senyumnya.
"Karena setelah hari itu nanti, aku gak bisa lagi nemuin kamu. Karena setelah hari itu nanti, aku akan berhadapan sama banyak orang buat nentang takdir ketemu kamu. Dan, aku gak perduli seberapa keras hari ini buat ketemu kamu, aku mau ketemu kamu sebelum kamu menjadi milik orang lain," jelasnya, tangan kanannya menyeka airmata Gigi, lalu mengusap bibir perempuan itu.
"Aku mungkin pernah tidur sama banyak perempuan. Tapi, denger ya Gi, Cuma kamu yang aku cinta. Cuma kamu alasan kuat aku buat ninggalin semua kebiasaan buruk aku."
Gigi menegakkan tubuhnya, menatap laki-laki itu.
"Kalo kamu bahagia, aku juga akan bahagia. Dengan siapapun pilihan kamu."
"Tapi –"
"Kadang Tuhan hanya mempertemukan, bukan mempersatukan. Admit it."
Gigi bangkit dan menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukkan Gaga. "Last, i wanna hear. Say it, Ga."
"I love you, Gigi Anastasha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgiven
Teen Fiction"Aku punya seribu keinginan, salah satunya adalah membahagiakanmu."