***
Gigi melempar beberapa tumpuk buku ke hadapan Dion yang tengah asik bersama gitarnya.
"Who the hell are you?" teriaknya.
Dion menatap bingung perempuan itu.
"Lo sebenernya siapa?"
"Maksud lo apa sih?" tanyanya, meletakkan gitarnya di atas meja yang kosong.
"Lo kenal sama Gaga? Why you didnt tell me anything?"
Dion melemparkan senyuman miringnya, bangkit dari duduknya, dan beralih pandang menjauhi Gigi yang masih menunggu jawabannya.
"Oh, akhirnya lo tau juga gue siapa?"
Gigi terkesiap. Benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Dion barusan.
"Iya, gue temennya Gaga." Dion membalikkan badannya, berjalan menuju ke arah Gigi. "Kenapa emangnya? Masalah?"
Gigi mengepalkan tangannya. Pandangannya menajam. Dipelupuk matanya, sudah berlinang buliran airmata.
Dion melangkahkan kakinya maju. Mendekati Gigi yang masih menatapnya.
"That's why gue bisa tau soal lo sama Gaga," bisik Dion.
"Gue Cuma mau bilang, kalo Gaga bukan cowok yang baik buat lo. Selain dia pemabuk, bertatoo, dia juga sering tidur sama banyak perempuan. And, you're not the only one for him," lanjutnya. Setelah mengatakan itu, Dion pun berangsut menjauh. Meninggalkan Gigi yang masih mengepalkan tangannya dan sejumput perasaan kesalnya.
"But, he's your friend," ucap Gigi lirih. Membuat Dion menghentikan langkahnya.
"Gue pernah cerita sama Gaga soal gue lagi suka sama siapa. Tapi, keesokkan harinya, gue liat dia cium lo. Lo jadian sama dia. Orang yang gue suka jadian sama temen gue."
"Tapi, lo gak pernah cerita apa-apa soal gue ke Gaga 'kan? Lo gak bisa nyalahin dia gitu aja."
"Gue gak perduli."
"..."
"Selama ada gue, kalian gak akan bisa bersatu."
-
Gigi berjalan, memasuki rumah besar nan mewah. Beberapa pelayan rumah sudah menyambut kedatangannya. Yang lain, sibuk menyiapkan makanan.
Disana, di kursi yang megah itu, duduk seorang wanita paruh baya. Memandang anak perempuannya yang berjalan ke arahnya dengan sebuah senyuman dan rentangan tangan.
Sebuah pelukkan menyambut kedatangan Gigi.
Wanita itu mengecup pucuk kepala anak perempuannya.
Anak perempuan satu-satunya yang begitu ia sayangi.
Gigi memeluk perempuan itu dengan sangat erat. Memandangi kedua mata wanita itu yang sudah mulai menua. Terlintas rasa takut yang luar biasa padanya saat itu.
"I miss you."
Gigi menenggelamkan wajahnya pada pelukan sang Mama.
-
"Gimana kuliah kamu?" Ratna menuangkan secangkir teh ke dalam gelas ukuran minimalis.
Gigi mengangkat kepalanya perlahan. "Baik-baik aja, Ma."
Ratna duduk, menyandarkan tubuhnya. "Gigi, Mama sudah tua. Kapan kamu mau –"
"Ma..." Dengan malas, Gigi memutar bola matanya. "Kita udah pernah bahas ini 'kan?"
"Iya, tapi, Gi.."
"Gigi akan bawa calon sendiri, Ma."
"Kalo dia gak memenuhi persyaratan Mama. Kamu tau 'kan apa artinya?"
"Gigi harus menerima pilihan Mama.."
Ratna mengangguk seraya tersenyum, "Kamu ada acara weekend ini?"
"Gak ada, Ma." Gigi menggelengkan kepalanya. "Kenapa?"
"Papa kamu, Om Ridwan, mau mengadakan acara keluarga. Kamu dateng ya sayang," Ratna mengusap punggung anak perempuannya. "Sekalian nanti mau ada yang kita omongin."
Gigi tersentak sejenak. Merasa kalau perasaannya menjadi tidak baik-baik saja saat ia mendengar kalimat barusan.
"Apa, Ma?"
Bukannya membalas pertanyaan Gigi. Ratna hanya tersenyum. Membuat ruang teka-teki dalam hati anak perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgiven
Teen Fiction"Aku punya seribu keinginan, salah satunya adalah membahagiakanmu."