***
Gigi berjalan melewati deretan mobil-mobil mewah itu. Digandeng Gaga yang menuntunnya menuju pintu utama dari rumah bak istana itu.
Begitu ia menginjakkan kakinya di rumah itu, ia terperangah. Cat putih bersih mendominasi setiap sudut ruangan. Tatanan bangku dan kursi pun tak kalah rapih. Ditambah dengan hiasan bunga sedap malam dibeberapa sudut.
Dari kejauhan, seorang wanita paruh baya berjalan mendekatinya dan Gaga.
"Nyokap gue," ucap Gaga lirih.
Gigi tersenyum ke arah wanita yang kini berjalan ke arahnya. Mencium punggung tangan wanita itu dengan sopannya.
"Siapa ini, Ga?" tanya wanita paruh baya itu. "Pacar?"
Diantara keduanya, tidak ada yang menjawab pertanyaan. Mereka hanya saling pandang satu sama lain.
"Eh, hehe. Mama masak apa hari ini?" Gaga merangkul Desi dan berjalan menuju ke arah dapur. Meninggalkan Gigi dengan kecanggungannya.
"Gi, duduk aja. Gak disuruh bayar kok," teriak Gaga dari dapur.
Gigi duduk di sebuah sofa panjang. Matanya tidak berhenti mengedar menyapu sekeliling rumah. Memperhatikan setiap frame foto yang menggambarkan betapa harmonisnya keluarga Gaga.
Tak lupa, ia melihat sosok Gaga kecil didalam foto. Ia begitu bahagia sambil menaiki sebuah sepeda. Juga, saat anak laki-laki itu mengangkat sebuah piala pertandingan sepak bola.
Anak laki-laki versi kecil itu sangatlah manis.
"Jangan diliatin gitu, ntar jatuh cinta." Ditangan Gaga sudah ada dua gelas minuman. Satu berisikan beer dan yang satu orange juice, yang ia berikan pada Gigi.
Gigi masih tak hentinya memperhatikan foto Gaga kecil. Ia tertawa ketika ada foto yang dianggap lucu. Deretan frame foto yang terdapat di dinding ruang tamu mampu membuat kecanggungannya mereda.
Sampai, matanya terhenti pada segelas beer yang ada di hadapan Gaga sekarang.
"Beer, huh?" tanya Gigi.
Yang ditanya tak menjawab, ia asik menyeruput beer itu. Membiarkan setiap tetes alkohol itu masuk ke dalam kerongkongan miliknya.
Gaga membiarkan tubuhnya bersandar di sofa. Matanya mengerjap, menatap langit rumahnya.
"It's been a long story," ucap Gaga tiba-tiba. "Wanna hear?"
Gigi mengangguk. Tanpa membalas apapun.
"It's been a year ago.."
-
Flashback
Gaga mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Berharap kalau ia dapat segera tiba ke apartement milik Sisi, kekasihnya.
Sesampainya di basement, Gaga memarkirkan mobilnya, membawa sebucket bunga yang sudah ia siapkan. Lalu, bergegas pergi ke lantai 17, dimana Sisi berada.
Di depan pintu apartement, Gaga mendengar suara yang saling bertautan. Deru nafas yang tidak karuan. Kala itu, pikirannya langsung melayang tak menentu.
Ia membuka pelan pintu kamar dengan kunci yang ia juga miliki. Betapa terkejutnya Gaga saat mendapati sang kekasih sedang bercinta dengan laki-laki lain.
Jantungnya bak berhenti. Aliran nadinya bak tersendat. Ia tidak dapat bernafas dengan normal.
Ia menjatuhkan bucket bunga yang ia bawa.
Tanpa berkata apa-apa, ia meninggalkan kamar itu dengan membawa sebotol beer yang ia raih dari nakas didekatnya.
Ia pergi ke sebuah pub malam, menikmati setiap tenggak beer yang ia minum. Merasakan betapa perihnya hatinya menerima kenyataan.
Seharusnya, hari ini ia merayakan anniversary tahun pertamanya. Nyatanya, kejadian pahit harus ia terima.
Ia harus merelakan cintanya.
Dengan menenggak berbotol-botol beer, ia berusaha melupakan sakitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgiven
Teen Fiction"Aku punya seribu keinginan, salah satunya adalah membahagiakanmu."