Angel Part 9

66 8 0
                                    


Rafael memeluk Shafa, mencoba menenangkan Shafa. Tangan kanan Shafa yang ada dipundak Rafael mencengkeram dengan sangat erat. Bahkan Rafael sampai meringis kesakitan karna cengkeraman tangan Shafa yang begitu kuat. Di tambah kuku Shafa yang sedikit panjang. Tapi, Rafael sama sekali tak mempermasalahkannya. Rasa sakit yang dirasakannya tak seberapa dibanding Shafa.

Nafas Shafa tak teratur. Dadanya terasa amat sangat sakit. Beberapa menit kemudian rasa sakitnya menghilang, badannya terkulai lemas. Kepalanya tersandar pada tubuh dada Rafael.

<==>

"Apa? Shafa dirumah Rafael?" tanya Papa Shafa terkejut.

"Iya. Tadi mereka kerumah dulu, minta izin." ucap mama.

"Kenapa di izinkan?" omel papa.

"Pa, aku hanya mau melihatnya gembira dan melupakan sakitnya. Dan Rafael, selalu bisa membuat Shafa tersenyum." ucap mama dengan suara pelan.

"Aku tau itu. Tapi....." papa menggantungkan kata-katanya. "Mereka, sedang dalam masa pubertas. Aku.... Aku harus menyusulnya." ucap papa yang bergegas pergi.

Tapi mama segera menahan suaminya itu. "Biarkan saja. Walau aku juga takut, tapi aku percaya pada mereka. Biarkan Shafa bahagia, sebelum kita kehilangannya." ucap mama dengan mata berkaca-kaca.

<==>

Hujan turun dengan derasnya. Shafa terjaga dari tidurnya. Matanya menangkap remang-remang cahaya lampu yang ada dimeja tak jauh dari tempatnya tidur.
Shafa mengarahkan pandangannya kelantai, dimana Rafael tengah tidur diatas karpet.
Shafa menyibakkan selimutnya, turun dari kasur dan menghampiri Rafael yang masih tertidur pulas.

Rafael tidur hanya mengenakan kaos tanpa lengan. Shafa membenarkan selimut yang menutupi tubuh Rafael. Tapi matanya tertuju pada bekas luka dibahu Rafael. Shafa ingat, luka itu karna dirinya. Ia ingat betul, saat ia kesakitan tanpa sadar ia mencengkeram erat bahu Rafael.
Shafa mengulurkan tangannya, menyentuh luka itu. Rasa dingin, ia rasakan pada tubuh Rafael. Mungkin karna Rafael tidur di lantai dan juga karna hujan.

"Aku.. Aku selalu membuatmu terluka." lirih Shafa.

Matanya menatap lurus wajah Rafael yang terlelap. Terlihat jelas wajah lelahnya. Shafa mengusap lembut pipi Rafael yang juga terasa dingin.
Shafa mendongakkan kepalanya, menahan air matanya. Ia tidak mau menangis saat ini. Ia tidak mau terlihat lemah meski Rafael tidak melihatnya. Shafa mengatur nafas dan juga emosinya. Tidak, ia tidak boleh menangis, tidak. Pada akhirnya air matanya tetap keluar.

~

Rafael mengerjap-ngerjapkan matanya. Begitu makanya terbuka sempurna, ia terkejut melihat Shafa tidur di dekatnya.

"Bodoh! Kenapa kamu tidur dibawah." omel Rafael pada Shafa yang belum bangun.

Rafael menyentuh dahi Shafa yang terasa sedikit dingin. Rafael menghela nafasnya. Ia mengangkat tubuh Shafa dan memindahkannya keatas kasur dan menyelimuti tubuh Shafa.

Rafael berjalan kedapur, memasak air yang nantinya akan ia campur dengan air dingin untuk Shafa mandi. Supaya badan Shafa terasa hangat.
Sembari menunggu air yang ia masak mendidih. Ia mencari-cari bahan makanan yang akan ia masak untuk sarapan nanti.

"Aww.." pekik Rafael saat tangannya terkena pisau. Ia mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa sakit. Tapi saat ia melihatnya, sama sekali tidak ada luka ditangannya. Rafael jadi terheran. Dengan cepat ia membuka bajunya dan melihat bahu kirinya. Luka yang dibuat Shafa masih membekas disana.

"Kenapa? Kok bisa gini sih?" gumam Rafael bingung.

<==>

"Pagi," sapa Sonya pada Shafa.

AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang