Dicky menggenggam gagang pintu rumah Rafael dan menekannya hingga pintu terbuka. Rafael memang sengaja tak mengunci pintunya karna ia memang mengundang Dicky untuk datang kerumahnya.
Dicky masuk kedalam rumah dan menutup pintunya lagi. Tidak baik membiarkan udara tengah malam masuk kedalam rumah."Nggak ada gunanya gue sedih kan? Sekuat apapun gue mencoba untuk tetap sama dia. Itu nggak akan ngaruh, karna pada akhirnya gue akan menghilang." ucap Rafael setelah menceritakan semuanya.
"Apa lo akan pindah sekolah?" tanya Dicky.
Rafael tertawa mendengar pertanyaan bodoh Dicky. "Itu terlalu berlebihan. Lagipula, nggak ada gunanya kan? Gue udah meninggal juga!" ucap Rafael.
"Ah iya, gue lupa." ucap Dicky.
"Tujuan utama gue adalah untuk membuat Shafa sembuh. Jadi, kalau memang ini caranya, aku akan melakukannya." ucap Rafael.
Dicky menganggukkan kepalanya mengerti. "Lo nggak perlu khawatir. Teman-teman juga siap jaga Shafa kok." ucap Dicky tersenyum lebar.
"Ah, aku tau itu." ucap Rafael tertawa kecil.
<==>
Bel masuk bergema di seluruh penjuru sekolah. Para siswa yang masih berada diluar kelas bergegas masuk ke kelas masing-masing sebelum guru mereka masuk lebih dulu.
"Kabar gembira! Pak Iqbal nggak masuk!" ucap Rangga penuh semangat. Disambut teriakan gembira teman-teman sekelasnya.
"Tapi, kita dikasih tugas!" ucap Rangga mengeluarkan tumpukan kertas.
"Yah!" ucap para siswa kelas 11.B yang seketika langsung lemas.
Rangga berjalan dari bangku ke bangku. Membagikan kertas tugas ke setiap siswa di kelasnya. Walau mengeluh pada akhirnya para siswa itu tetap mengerjakan tugas yang diberikan meski setengah hati.
Dicky menatap Rafael dan Shafa secara bergantian. Keduanya memasang wajah serius. Menatap kertas tugas milik masing-masing. Tak ada yang melirik atau curi pandang.
"Menyedihkan!" gumam Dicky.
Shafa menyembunyikan tangan kirinya yang mulai bergetar didalam laci meja supaya teman-temannya tidak ada yang tau. Sebisa mungkin ia menahan tangannya untuk tidak bergetar. Bahkan ia memasukkan buku kedalam laci, sebagai genggaman tangan kirinya.
Shafa menghela nafas lega. Karna tangannya berhenti bergetar. Ia menarik keluar tangannya dan kembali mengerjakan tugasnya.Salah satu teman Shafa yang duduk di dekat Shafa tanpa sengaja menjatuhkan pulpennya sendiri. Ia menunduk untuk mengambil pulpennya. Saat ia mendongak ia melihat tangan Shafa sedikit bergetar. Dan Shafa menggenggam tangannya sendiri untuk menahannya.
"Sela!" panggil orang itu.
"Iya!" jawab Sela.
"Tangan Shafa bergetar sendiri!" ucap orang itu lagi.
"He?" ucap Sela kaget.
Shafa juga tampak terkejut mendengarnya. Semua mata siswa di kelas itu tertuju padanya, termasuk Rafael. Shafa menundukkan kepalanya. Tangan kanannya mengepal kuat. Kenapa? Kenapa sakitnya harus kambuh saat ia masih di sekolah? Kenapa tidak saat pulang saja?
Sela bergegas kebelakang untuk mengambil alat medis. Dan menghampiri Shafa, meletakkan alat medisnya diatas meja Shafa. Tapi dengan cepat Shafa menghempaskan alat medis dan juga obat-obatan itu hingga jatuh berserakan dilantai. Tentu saja hal itu membuat seisi kelas terbengong-bengong.
"Cukup!" lirih Shafa yang meneteskan air matanya. "Aku mohon hentikan!" ucapnya.
"Apa maksudmu?" tanya Sela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angel
FantasySeorang pria meninggal akibat kecelakaan. Tapi arwahnya masih bergentayangan dan bisa dilihat oleh semua orang termasuk teman-teman sekolahnya. Itu semua karna ia memiliki satu harapan besar. Apa harapan itu? Ketahui jawabannya dengan membaca cerita...