Membelah Makam

571 6 0
                                    

"Eh dengar – dengar akan ada pembongkaran makam desa ya?"

"Kelihatannya sih begitu"

"Sungguh terlalu, kelewatan, apa mereka tidak takut kuwalat pada sesepuh desa ini?"

"Saya setuju dengan ibu, mereka egois, tidak memikirkan balas budi para sesepuh yang dulu membabat alas desa ini!"

Begitulah obrolan di sore itu. Begitu panas, memuncak penuh luapan emosi. Sepanas matahari yang bersinar di sore yang sedang musim kemarau ini. Semenjak ada kabar pembongkaran makam desa, masyarakat seakan – akan terusik dan tersentak kaget. Betapa tidak, makam yang selama ini dijadikan sebagai tempat yang "dikeramatkan" oleh masyarakat sekitar – bahkan luar desa – karena terdapatnya punden yang berlokasi di dalam makam. Punden yang "tertanam" di bawah akar pohon beringin berusia ratusan tahun. Yang konon oleh masyarakat sekitar dianggap sebagai punden "bertuah". Ya... bertuah. Sebab bisa mewujudkan segala keinginan para peziarah. Mengabulkan harapan dalam dada, menjadikan khayalan keluar dari angan – angan. Tak sedikit peziarah yang menyumbang harta benda. Seperti memberikan "komisi" kepada juru kunci makam sebagai balas jasa atas kemujaraban do'a – do'a yang dirapalkannya.

"Mbah, ini... mohon diterima" ucap Hartono kepada juru kunci seraya menyelipkan amplop coklat tebal dibawah sesajen di dekat punden.

"Apa ini Nak?"

"Sedikit kok mbah, ini ucapan terimakasih saya karena berkat mbah, saya sekarang menjadi kepala dusun di desa saya" ucap Hartono dengan mata berbinar hati berbunga – bunga.

Begitulah sedikit cerita dibalik bilik punden yang berukuran 3 x 3 meter itu. Cerita tentang anak manusia yang menginginkan harapannya terkabul dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh agama.

***

"Pokoknya aku tidak setuju!" bentak Sartono ssambil menggebrak meja dengan emosi meluap – luap bak air bah yang siap menerjang apa pun dihadapannya.

"Aku tidak mau punden yang aku rawat seumur hidupku, punden yang aku jaga turun temurun dari mulai generasi kakek buyutku, punden yang memberikan keberkahan kepada semua orang. Tiba – tiba dihancurkan dalam semalam !"ucap Sartono dengan mata memerah darah.

"Sudahlah Pak, apa hak kita terhadap punden itu" ucap istrinya lembut mendinginkan emosi Sartono yang mulai memanas.

"Kita tidak punya hak sedikitpun. Itu adalah tanah umum. Tanah pemerintah. Yang sudah semestinya digunakan untuk kepentingan umum. Bukan untuk kepentingan para "langganan" mu yang tiap malam kamis menyambangi istanamu yang sempit. Yang tiap kamis mengungkapkan keluh kesah mereka. Yang tiap kamis menangis – nangis meringis menahan hati yang teriris berharap dapat harta waris. Tanah itu bukan milik kita pak. Tapi milik pemerintah yang akan mereka gunakan untuk jalan masuk sekolah yang baru berdiri sebulan kemarin. Relakan saja makam - makammu dibelah Pak " ucap istri Sartono seraya menggoreng lauk di dapur untuk sajian makan malam mereka.

***

"Jadi bagaimana Pak, apa rencana membelah makam itu sudah fix?" tanya Herman kepada kepala sekolah.

"Apapun yang terjadi, kita akan tetap mengajukan proposal itu ke kantor Dinas Pekerjaan Umum. Siang nanti akan aku kirimkan" ucap Andika.

Siang itu dengan ditemani Herman, Andika memasuki ruangan kantor DPU menemui salah satu pegawai yang berada di meja resepsionis.

"Ada keperluan apa Bapak kesini?"

"Saya hendak bertemu kepala bagian Dinas Pekerjaan Umum, saya sudah buat janji dengan beliau siang ini"

"Sebentar ya pak, saya telpon dulu"

Tak menunggu lama, Herman dan Andika sudah berada di dalam ruangan kepala bagian.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang