Sebongkah Tubuh Tanpa Jiwa

193 4 0
                                    

Wanita itu masih sama seperti dulu. Seperti yang aku kenal sepuluh tahun yang lalu. Wajahnya, bibirnya, lesung pipitnya dan juga senyumannya. Senyuman yang hambar yang keluar dari wajahnya yang redup tanpa sinar. Tawa kecilnya yang sesekali keluar memecah sunyinya malam membuatku semakin yakin bahwa itu dia.

"Jadi kamu masih sendiri?"

"Begitulah, mungkin ini nasibku. Di usiaku yang menginjak kepala tiga tak juga ada seorang lelakipun yang mendekatiku"

"Mmm... Sepertinya kesendirianmu akan segera berakhir, Sinta"

"Benarkah? Jangan kau memberiku harapan palsu" ucap Sinta dengan muka masam.

"Ini, kau coba hubungi nomor ini. Bilang aku yang memberimu nomor ini. Jangan takut, dia adalah sahabatku. Dia orang yang baik" jawab Rio meyakinkan.

***

"Jadi kau yang bernama Sinta?" tanya Andre malam itu di sebuah kafe. Tempat mereka berjanji bertemu muka.

"Iya, aku Sinta temannya Rio. Sepertinya kamu orang yang baik. Sama seperti yang Rio ceritakan kepadaku" jawab Sinta dengan hati yang berbunga – bunga. Seperti bunga yang telah dihinggapi seekor kumbang untuk yang pertama kalinya. Menguncup sedikit merekah malu – malu.

Perbincangan mereka berdua mengalir begitu lancar. Seperti seolah – olah mereka telah mengenal baik sebelumnya. Mengalir seperti desiran angin malam itu. Desiran angin yang membuat hati Sinta bahagia. Bahagia yang teramat sangat.

"Oh Tuhan... Inikah lelaki yang kau pilihkan untukku" gumam Sinta dalam hati malam itu diatas ranjangnya setelah Andre mengantarkannya pulang kerumah.

Sejak pertemuan pertama itu ; setelah mereka berkenalan lewat sms dan telepon selama seminggu, hubungan mereka makin dekat. Andre sering menjemput dan mengantar Sinta ke tempat kerja. Mengajaknya makan malam bersama. Berkencan berdua di tempat yang romantis layaknya muda mudi.

Namun, malam ini menjadi berbeda. Setelah hampir dua bulan perkenalan mereka. Setelah Sinta benar – benar cukup yakin untuk melabuhkan jiwanya kepada Andre, mendadak meja tempat mereka duduk berdua didatangi seorang wanita.

"Jadi ini perempuan baru kamu?"

"Eh.. Si... Siapa kamu? Jangan ngawur kamu" jawab Andre gelagapan.

"Siapa dia Mas?" tanya Sinta penuh tanya.

"Mbak... aku ini pacarnya Andre, sudah tiga bulan dia tidak ada kabar. Aku berusaha menghubunginya, mencari keberadaannya, menanyakan keadaannya kepada teman – temannya. Tapi nihil. Dan ternyata Tuhan membawaku kemari untuk menyaksikan siapa Andre sebenarnya. Tuhan telah membuka topeng yang selama ini digunakan Andre untuk menipu para perempuan" jawab perempuan itu yang kemudian berlalu begitu saja setelah menyiramkan segelas kopi ke baju Andre.

"Kita putus !" ucapku singkat kepada Andre.

"Sin... Tunggu... Aku akan menjelaskan semuanya"

"Tidak perlu, semua sudah terjawab. Mulai sekarang jangan cari aku lagi" jawabku seraya berlalu pergi meninggalkannya dengan ribuan luka berkecamuk di dada.

***

Mendengar kabar putusnya Sinta dengan Andre, Rio segera menghubungi Sinta. Menanyakan keadaannya.

"Kau baik –baik saja kan? Mungkin Andre bukan yang terbaik untukmu. Kenyataan tak seindah khayalan"

"Kau benar Rio. Mungkin aku harus lebih bersabar lagi. Bersabar menunggu seseorang yang tepat untukku. Menunggu pasangan jiwaku. Entah sampai kapan" jawab Sinta singkat dengan tatapan mata yang kosong. Seakan pasrah atas apa yang terjadi pada dirinya. Memasrahkan hidupnya pada takdir.

Keadaan Sinta semakin hari semakin terpuruk. Pikirannya makin hari makin kosong. Rio sebagai sahabatnya tak ingin melihat Sinta tenggelam dalam keadaan yang rumit. Rio pun berusaha untuk menghibur kesepian hati Sinta. Mengajaknya keluar menikmati malam yang indah. Mengajaknya berkeliling menikmati suasana malam di kota. Mengajaknya mampir ke tempat – tempat yang bisa menghibur hati Sinta. Setidaknya bisa membuat Sinta tersenyum kembali.

Dan akhirnya terwujudlah juga. Rio telah mengembalikan hari – hari Sinta menjadi cerah seperti dulu lagi. Membuat bunga di hati Sinta kembali mekar. Mekar seperti dulu saat kumbang pertama kali mendekatinya. Membuat jiwanya tak kesepian lagi.

"Terimakasih ya, kau telah menemaniku selama ini. Aku sangat senang memiliki teman sepertimu. Aku sangat nyaman berada di dekatmu. Jangan tinggalkan aku ya" ucap Sinta kepada Rio.

"Mmm... Iya. Aku tak akan meninggalkanmu" jawab Rio singkat.

Hari – hari Sinta berjalan semakin indah sejak hadirnya Rio dalam kehidupannya. Senyum selalu tersungging indah di wajahnya. Matanya, lesung pipinya, rona wajahnyapun ikut berseri – seri. Layaknya seseorang yang telah jatuh cinta.

"Rio, aku ingin bertemu denganmu" ucap Sinta dalam percakapan telepon sore itu.

"Ada apa Sin?"

"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan"

"Oh boleh. Kebetulan aku juga ada perlu denganmu. Aku ingin meminta saran darimu. Kapan kita bertemu?"

"Saran apa? Nanti malam ya, di tempat biasa"

"Ada lah... hehehe... OK Sin, nanti malam aku jemput" jawab Rio yang kemudian mengakhiri percakapan mereka berdua.

Malam yang telah mereka sepakati akhirnya tiba juga. Mereka pun mengobrol di tempat biasa.

"Jadi apa yang ingin kau sampaikan Sin?" tanya Rio.

"Mmm... Bagaimana ya? Aku malu Rio" ucap Sinta dengan wajah sedikit memerah.

"Lho kenapa memangnya?"

"Eh kamu tadi bilang mau minta saranku? Saran apa Rio" tanya Sinta memecah malam. membelokkan pertanyaan Rio.

"Oh itu. Aku ingin kamu memilihkan baju yang cocok untukku"

"Mmm... Baju apa ya?" tanya Sinta penasaran.

"Sebentar..." jawab Rio sambil mengeluarkan sebuah buku katalog baju pernikahan.

"Ini Sin, coba kau pilihkan satu yang bagus untukku dan untuk calon istriku" ucap Rio seraya menyodorkan katalog itu dihadapan Sinta.

"Apa arti semua ini Rio?" tanya Sinta terbata – bata.

"Iya Sin, aku akan segera menikah" ucap Rio singkat.

"Bukankah kemarin kau berjanji tak akan meninggalkanku?" tanya Sinta dengan mata sembab berkaca – kaca. Menyiratkan rasa tak percaya atas kenyataan yang ada di depan matanya.

"Maksudmu apa Sin?" tanya Rio heran.

"Kau lupa? Kau berjanji tak akan meninggalkanku. Kau berjanji akan selalu menemaniku Rio. Tapi kini.... Kau akan menikahi perempuan lain. Kau berbohong padaku Rio" ucap Sinta berderai airmata sambil beranjak pergi meninggalkan Rio termangu – mangu di mejanya. Melihat Sinta lenyap terbawa taksi malam itu.

Raut muka Sinta berubah masam. Berubah gelap. Harapan yang simpan mendadak lenyap. Seperti jiwanya yang lenyap terbawa malam pekat.

Setelah malam itu, Sinta menjadi mudah tersinggung. Sedikit saja ucapan yang kasar, akan membuatnya sangat marah. Meskipun itu penyebabnya hanya sepele. Pekerjaannya pun menjadi berantakan. Sehingga tak jarang ia mendapatkan teguran dari atasannya. Puncaknya adalah ia terpaksa dipecat.

Beban hidup Sinta makin berat saja. Kehilangan pekerjaan, kehilangan teman hingga yang paling parah adalah kehilangan pegangan hidup. Hidupnya kini sepi kembali. Jiwanya kini kosong. Tanpa arah yang jelas ia menapakkan kakinya menjalani kehidupannya. Melangkah dan melangkah tanpa arah.

Seperti siang itu...

"Orang gila... orang gila... weeekkkk...." teriak anak – anak kecil menyoraki Sinta di ujung gang.

"Andreeee.... Kaukah itu? Ooohh Rioooo... jangan tinggalkan akuuuuu..." teriak Sinta sambil memilin – milin rambut panjangnya yang sangat kusut dan lusuh tak beraturan. Lusuh selusuh tubuhnya. Sebongkah tubuh tanpa jiwa.


Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang