Parang Kesumat

93 0 0
                                    

"Aku dengar kabar kalau kang Manto sudah keluar dari jeruji besi ya?"

"Benar, adiraja itu baru saja dibebaskan polisi kemarin".

"Tak kusangka... pria bedegap badan ternyata lemah juga".

"Sssstt... kecilkan suaramu. Awas kalau terdengar kaki tangan kang Marjo. Nyawamu bisa lepas dari badan. Melesap ke udara menuju langit ketujuh".

Ikhbar itu seakan – akan cepat beralih dari mulut ke mulut. Bak makanan, tak ada seorangpun yang luput untuk mencicipinya. Gurih, manis dan pedas. Begitulah kesan orang – orang yang mendengarnya.

Namun ada satu rasa yang belum dicicipi oleh para penghuni pasar di siang itu. Satu rasa yang hanya bisa dirasakan oleh satu orang di muka bumi ini. Yakni rasa pahit. Pahit sepahit empedu. Rasa pahit yang terpaksa harus ditelan oleh seorang anak manusia yang tak berdosa.

***

Kang Manto memang terkenal akan kebengisan sifatnya. Tidak mempunyai rasa iba sedikitpun di hatinya. Sejak kematian Badi lima tahun lalu, kang Manto sifatnya berubah drastis. Merupa langau yang selalu menyesap darah mangsanya hingga tak berkutik lalu mati kekeringan. Kejam. Begitulah kata yang pantas untuk menggambarkan kang Manto.

Kang Manto ingat betul, senja itu jadi saksi. Saksi duel mautnya dengan Badi. Duel yang mempertaruhkan harga diri seorang laki – laki yang terinjak – injak.

"Mulai sekarang daerah ini adalah wilayahku. Tak boleh ada yang menarik angkong disini".

"Tapi kang, ini kan pasar. Tempat keramaian. Setiap orang berhak untuk mencari nafkah disini".

"Nantang kau hah!"

"Tidak Kang"

"Terus?"

"Aku hanya ingin mengingatkan Kang Badi saja".

"Jadi apa kau hah? Berani – beraninya melawan ucapanku"

"Ampuuuun kang...!"

Namun naas bagi kang Manto, setelah perseteruan yang sengit itu dia tepaksa harus pulang dengan memar di sekujur tubuhnya.

Keesokan harinya, mendadak di pasar menjadi ramai. Disana sedang terjadi pertikaian. Tepatnya pertikaian antara kang Manto dengan Badi. Di hari yang cukup panas itu, saat terik matahari mampu mendidihkan isi kepala. Dua orang adiraja di daerah itu saling beradu kedigdayaan.

Badi berdiri dengan bengahnya. Merasa dirinyalah yang berkuasa di pasar itu. Merasa dirinyalah yang paling ditakuti oleh seisi pasar. Dengan parang di tangan kanannya, Badi berteriak lantang seakan menantang seisi alam.

"Manto... keluarlah. Aku sudah menunggumu disini !" teriak Badi.

Seketika itu udara terasa panas. Mulut – mulut terbelangah, napas tersekat di tenggorokan, jantung berhenti berdetak hingga mampu menghadang aliran darah ke urat nadi. Setiap mata di pasar tertuju pada dua adiraja di tengah lapangan pasar.

"Tunjukkan nyalimu kang Manto. Aku siap melesapkan ruhmu ke udara !" teriak Badi serasa memekakkan telinga yang mendengarnya..

"Hahaha... jangan bengah kau jadi orang. Mentang – mentang kau lebih muda dan kuat dariku. Lalu seenaknya kau merendahkan dan membuatku terasa seperti pecundang. Cuiiih !" umpat kang Manto sambil meludah ke tanah.

Seketika itu mata kang Manto merupa kelereng bola api. Menyala – nyala merah membara seakan – akan mampu membakar sesiapa yang ada di dekatnya.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang