Menghemat Kematian

193 3 0
                                    

"Sudah pak, aku minta cerai"

"Apa? Kau meminta cerai disaat kondisiku seperti sekarang ini? Wanita macam apa kau ini?" ucap Sarjito seraya menahan sesak di dada.

"Iya pak, aku tidak mau merawatmu lagi. Cukup sudah penderitaanku. Aku sendiri sakit – sakitan, ditambah penyakitmu makin lama makin parah. Anak tak tahu dimana. Semua pergi tanpa jejak. Seolah – olah menutup mata atas keadaan kita!" bentak istri Sarjito.

"Ceraikan aku!"

Seminggu setelah pertengkaran hebat itu, keadaan rumah Sarjito sepi. Tidak ada lagi keluarga atau anak kandung Sarjito yang berkunjung kerumah seperti yang biasa mereka lakukan. Bahkan dari luar nampak pintu rumah yang seperti terkunci. Rumah yang mati. Tak ada bau napas, tak ada aroma kehidupan. Sunyi, sepi dan mati.

"Eh ngomong – ngomong bagaimana keadaan Pak Sarjito sekarang ya?"

"Aku tak tahu, sudah seminggu ini aku tak melihatnya keluar"

"Anak dan menantunya?

"Hilang ditelan bumi"

"Istrinya?"

"Minggat. Tak tahan dengan keadaannya yang makin lama makin parah. Bau. Layaknya mayat hidup"

"Kasihan"

"Terus, bagaimana nasib rumah yang besar itu sekarang? Siapa yang merawatnya? Apakah Pak Sarjito sanggup membersihkannya sendirian?"

"Itulah, aku juga merasa risih jika lewat depan rumahnya. Kemarin saja waktu habis belanja dari pasar, aku mencium bau aneh".

"Bau kemenyan maksudmu? Hahahaha".

"Wah aku kurang tahu juga. Pokoknya aneh saja"

"Lho... siapa tahu si Sarjito memelihara tuyul. Hahahaha...."

"Ah kamu ngaco ngomongnya".

Begitulah guncingan para tetangga. Ada yang mencibir, menghina, mencaci maki dan bahkan mengolok – olok Pak Sarjito. Maklum selama ini Pak Sarjito terkenal dengan kedengkiannya. Kesirikannya kepada para tetangga. Sering menyakiti hati tetangganya. Ucapan dan tingkah lakunya dahulu bak sembilu yang menusuk ulu hati. Sedikit kata tapi cukup menyakitkan.

"Pak Sarjito, maaf. Kebun pisang bapak memakan tanah milik saya. Maaf sekali lagi. Mohon bapak pindahkan atau geser sedikit pohon pisang bapak" ucap salah seorang warga kala itu.

"Ah banyak bacot kamu. Memangnya ini tanah punya moyang kamu? Bentak Pak Sarjito.

Mendengar bentakan seperti itu, sontak si tetangga tadi pergi menjauh tanpa berkata – kata sedikitpun. Bukan karena takut gertakan, namun malu jika meladeni pak Sarjito yang sudah cukup tua.

***

"Ibu, kenapa lagi ibu datang kemari hah?" bentak Santi – anak tertuanya.

"Maafkan aku nak, ibu terpaksa. Ibu tak sanggup lagi merawat bapakmu yang sakit – sakitan itu" ucap Sriani.

"Aaaahhh.... Itu cuma alasan ibu saja. Bilang saja ibu kemari karena ibu ingin menghindar dari tanggungjawab ibu merawat suami. Iya kan?" bentak Santi sambil membelalakkan matanya.

"Bukan nak, sungguh ibu tidak seperti itu" ucap Sriani memelas. Seolah memohon iba anaknya.

"Kedatangan ibu kemari cuma menambah beban keluargaku. Menambah porsi makan keluargaku. Menambah pengeluaranku. Mengurangi beras dan jagungku. Suamiku sendiri juga sudah jarang pemasukan sekarang. Hasil kebunnya mulai seret seseret aliran air di sawahnya. Jadi terpaksa aku harus berhemat. Berhemat segalanya. Tapi ibu malah datang menambah beban keluargaku. Aaaahhhh.... Mimpi apa aku kemarin bu !" ucap Santi sambil menekan – nekan kepalanya yang mau pecah, siap mengeluarkan isi dalam kepalanya yang sudah penuh dengan masalah.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang