Peri Segaran

233 5 0
                                    

Senja itu sangat jingga. Berbeda dari kemarin – kemarin. Mungkin karena pergantian musim yang tak menentu. Kadang panas kadang hujan. Kadang berangin kadang tenang.

Semua serba tak pasti.

"Sepertinya tangkapanku kali ini akan nihil." gumam Supardi dalam hati. Lelaki paruh baya itu merengut sambil menengok jala kecil yang ia tenggelamkan sedikit di kolam. Kosong tanpa isi.

Kepalanya menengadah ke langit yang perlahan mulai gelap. Matanya yang sayu seolah - olah bercakap – cakap dengan langit.

"Wahai penghuni langit, mengapa hari berlalu secepat ini? Seakan – akan kau tak membiarkanku untuk menang melawan senja. Mengapa selalu saja begitu? Sedangkan nasibku selalu saja begini – begini saja. Selalu diam tak bergerak sedikitpun." gerutunya.

Matahari perlahan turun.

***

Sudah seminggu ini ikan yang mengisi jala miliknya cuma sedikit. Hanya beberapa ekor ikan yang sudi mampir kedalam jalanya.

Hari ini lima ekor yang didapat oleh Supardi. Kemarin tiga ekor. Dalam minggu ini tak pernah ia mendapatkan ikan lebih dari tujuh ekor. Kalaupun dapat, itupun ikan kecil – kecil semua. Dan tak pernah lebih dari lima ekor.

Dengan wajah lesu, Supardi beranjak dari tempat duduknya setelah ia membereskan peralatan memancingnya.

"Aaah... Lebih baik aku pulang saja. Lebih baik mendapat ikan kecil daripada tidak dapat ikan sama sekali. Aku sudah siap mendengar omelan Sartini nanti." gerutu Supardi dalam hati.

Matanya menerawang jauh ke tepian kolam diseberang.

"Kok kecil? Kenapa tak pernah dapat yang besar? Mana kenyang makan ikan sekecil ini. Usaha dong. Gunakan otakmu agar bisa dapat ikan yang besar. Atau jangan – jangan memang otakmu sama kecilnya dengan otak ikan hasil tangkapanmu?"

Supardi membayangkan wajah istrinya Sartini yang sedang marah. Marah yang meluap - luap dua hari yang lalu. Hanya karena masalah sepele. Ikan.

Dan marah itu akan selalu berakhir dengan perginya Supardi ke teras depan. Pergi menjauh dari omelan istrinya yang tak pernah bisa berhenti.

Angin berdesir menerpa wajah kusutnya. Membuyarkan lamunannya tentang istrinya Sartini.

Supardi mendadak teringat pesan istrinya itu tadi pagi. Bahwa ia harus sudah berada dirumah sebelum maghrib tiba. Dan harus mendapat ikan yang banyak.

"Aku harus segera pulang, atau Sartini akan marah – marah lagi padaku." gumam Supardi.

Iapun bergegas membereskan peralatan memancingnya dan memasukkannya kedalam tas.

Namun ketika ia berusaha menarik senar pancingnya, senar itu tidak bisa ditarik. Seperti ada sesuatu yang menahannya dari dalam air.

"Sial... Karma apalagi ini!" Gerutu Supardi mengumpat nasibnya yang selalu sial berkepanjangan. Seperti senar pancingnya yang panjang dan tak mudah putus oleh sentakan ikan.

"Sudah tidak dapat ikan, sekarang kailku tersangkut lagi. Benar – benar hari yang sial buatku !" omelnya.

Dua tiga kali ditariknya senar itu. Namun hasilnya tetap sama. Meski menggunakan kedua tangannya dengan tarikan yang kuat. Senar itu tetap diam tak bergerak dari posisinya.

"Dasar pancing sialan!" umpatnya.

Tiba – tiba....

"Bau apa ini ?" ucap Supardi sambil menyempitkan kedua lubang hidungnya.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang