Mengantarkan Kematian

722 2 0
                                    

"Suster.. Apakah istriku bisa diselamatkan?" ucapku panik.

"Tenang Pak, Kami sedang berusaha. Ini kami sedang memberikan pertolongan pertama" jawab perawat itu sambil memasang alat bantu pernafasan kepada Hartini istriku.

Seketika itu juga ambulans meluncur kencang meninggalkan rumah kami.

"Bagaimana keadaanmu Bu? Apakah sekarang lebih baik?" tanyaku.

"Iya Pak. Setidaknya ada perubahan walau hanya sedikit"

"Kalau begitu besok kita akan ke dokter terbaik di Jakarta. Agar ibu mendapat perawatan yang intensif" jawabku.

"Tidak perlu Pak, sepertinya tidak lama lagi"

"Aaah kau bicara apa Bu? Jangan menyerah begitu. Semua penyakit pasti ada obatnya. Apalagi hanya leukemia seperti ini" jawabku sambil kutatap mata istriku dalam – dalam. Seolah ada sesuatu yang ingin dikatakannya padaku. Namun tak kunjung keluar dari mulut istriku karena dia kelihatan sangat lelah. Meskipun itu hanya untuk berkata – kata. Sehingga aku hanya bisa membantunya untuk merebahkan tubuh lemahnya diatas ranjang.

Hari berganti hari, keadaan istriku semakin parah. Tubuhnya semakin lemah saja. Hampir sama seperti sebelumnya. Lemah dan lemah.

"Pak, aku ingin membaca Yasin, tolong ambilkan diatas meja itu Pak" ucap istriku dengan nada lirih semakin melemah.

"Ini Bu, tapi bukankah lebih baik aku yang membacakannya untukmu?" ucapku sedikit mengiba melihat keadaan istriku.

"Pak... Aku menghargai bantuanmu. Tapi apakah bapak tidak berpikir? Kalau kita makan, yang kenyang siapa? Kalau kita bermain api, lalu percikan api itu mengenai kulit kita, yang merasakan panas siapa?" ucap istriku seraya melempar senyuman padaku. Dan sesaat aku telah mendengar lantunan ayat – ayat Allah mengalun lirih keluar dari mulut Hartini.

Begitulah, hari – hari keluarga kami makin suram saja. Seperti awan gelap menyelimuti langit. Tak sedikitpun awan gelap mengizinkan matahari untuk mengirimkan sinarnya walau sebentar. Namun aku sebagai kepala keluarga berusaha tegar dan tabah. Aku menganggapnya sebagai ujian dari Allah bagi keluargaku. Terutama bagi istriku.

Kondisi kesehatannya yang kian menurun tak membuatnya makin menjauh dari Allah. Malah sebaliknya, ia makin tekun beribadah. Menjalankan perintahNya. Meski dalam kondisi lemah. Kondisi yang tetap sama dalam empat tahun terakhir ini. Sebagai suaminya, aku hanya bisa memberikan bantuan yang terbaik. Mengirimkannya ke dokter terbaik. Memberinya obat terbaik. Menemani hari – harinya. Semua itu aku lakukan dengan harapan akan ada mukjizat. Mengembalikan kondisi istriku seperti semula. Menjadikannya lebih baik dari sebelumnya. Meski aku tahu itu mustahil. Tapi tak ada salahnya berharap. Bukankah kita sebagai umat manusia diperintahkan Allah untuk selalu meminta kepadanya?

Pagi itu mendadak gelap. Mendung menyapu langit biru. Saat aku hendak berpamitan kepada istriku untuk bekerja, saat dia selesai mencium punggung tanganku seperti yang biasa dia lakukan bila aku berpamitan kepadanya, mendadak dia tersungkur diatas ranjangnya. Pagi itu benar – benar membuatku semakin takut. Takut akan keadaan istriku. Takut keadaannya semakin bertambah parah. Yang lebih aku takutkan lagi adalah takut akan kehilangannya. Kehilangan seseorang yang telah menemaniku selama tiga puluh tahun. Menjalani kehidupan ini bersamanya. Hanya berdua bersamanya. Ya.. berdua. Karena hingga detik ini Allah belum mempercayakan malaikat kecil-Nya untuk kami rawat.

"Kau kenapa Hartini, buka matamu.... Jawab aku Hartiniiiii...." Teriakku dalam cemas yang sangat.

Seketika itu aku raba denyut nadinya, masih berdenyut walau sedikit melemah. Aku pikir aku harus segera memanggil ambulans.

***

Keadaan Hartini masih belum berubah setelah ia dimasukkan kedalam ambulans. Perawat – perawat itu masiih berusaha keras memberikan pertolongan terbaiknya. Aku hanya bisa pasrah disampingnya. Menggenggam erat tangannya yang mulai sedikit hangat kembali. Tidak dingin seperti satu jam yang lalu.

"Bertahanlah istriku... aku disini bersamamu" visikku lirih kepadanya.

Ambulans yang membawa kami segera menyalakan sirine. Memecah arus jalanan yang semakin padat di pagi hari yang gerimis itu. Sopir berusaha mencari celah untuk ambulans lewat. Agar kami sesegera mungkin bisa sampai ke rumah sakit.

Sementara perawat bekerja dan sopir mengendalikan ambulans, aku membaca ayat suci perlahan – lahan. Melantunkan do'a untuk kesembuhan istriku. Sambil aku genggam erat jemari kanan istriku. Dengan penuh harap aku berdo'a kepadaNya untuk kesembuhan Hartini istriku tercinta.

Napasku mendadak sedikit sesak, seperti kekurangan oksigen. Mataku mulai sedikit kabur. Namun aku masih terus melantunkan ayat suci untuk istriku. Setelah tiga menit berlalu. Mendadak tangan istriku mulai berubah. Yang semula panas, lalu panas itu menjalar ke jari – jari tanganku. Seketika itu genggaman istriku semakin erat kurasa. Pandanganku kabur.

"Pak... apa kau mendengarku?"

Lamat – lamat aku dengar sebuah suara lirih mengaung di telingaku. Suara yang tidak asing lagi. Suara Hartini istriku. Iya benar. Itu suaranya.

"Aaaa... ada apa Bu? Apakah kau baik – baik saja?" tanyaku kepada sesosok bayangan putih di depanku. Bayangan istriku.

"Iya Pak, aku sekarang lebih baik. Aku sudah tidak merasa sakit lagi"

"Syukurlah Bu, akhirnya do'aku terkabul. Allah telah mengembalikan kesehatanmu Bu"

"Iya Pak, aku juga bersyukur kepadaNya. Bapak jangan lupa ibadahnya ya? Jangan lupa beramal. Dekatkan diri kepada Allah. Karena kita hidup di dunia hanya sementara Pak. Kita semua nanti akan kembali kepadaNya" ucap istriku seraya tersenyum manis kepadaku. Senyuman yang takkan pernah aku lupakan seumur hidupku. Senyuman yang selalu menemaniku dan menguatkanku menjalani hidup berdua dengannya selama puluhan tahun.

"Iya Bu, Bapak janji. Bapak akan melaksanakan permintaan ibu"

"Bapak.... Jangan begitu. Jangan karena Ibu, tapi karena Allah. Nilai ibadah seseorang dilihat dari niatnya dalam hati. Bukan dari lisannya. Paham Pak?"

"Iya Bu paham"

"Aku pamit Pak, jaga diri Bapak baik – baik"

"Buuuuu.... Mau kemanaaaaa?"

Bayangan putih itu lenyap. Mataku seketika terbuka. Dan kulihat perawat mulai berhenti bekerja. Tak sesibuk seperti satu jam sebelumnya. Sopirpun mulai mengurangi kecepatan laju ambulans. Karena di depan telah nampak rumah sakit yang kami tuju.

"Pak... maafkan kami, istri bapak tidak tertolong" ucap sang perawat kepadaku.

"Innalillahi Wa Innailaihi Raji'un.... Ibuuuu...." Teriakku lirih seraya memeluk istriku tercinta. Membasahi wajahnya dengan air mataku.

Air mata perpisahan untuk terakhir kalinya......

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang