Ada Apa Dengan Surat Dari Julian?

20 6 7
                                    

Aku membuka kedua mataku dengan perlahan.
Sinar matahari yang menyorot mataku langsung. Sinar itu menembus gorden yang menggantung di jendela ku.
Aku menutup kedua mataku dengan kedua tanganku.
"Micah!"
Panggilku.
Kulihat Micah yang membuka jendela itu.
"Jam berapa saat ini?"
"7 pagi"
"Ah? Aku terlambat!"
Aku bergegas.
"Ini minggu pagi... Bahkan kemarin kau tidak masuk sekolah?"
Ia menaikkan satu alisnya.
Aku menggaruk kepalaku dengan tertawa.
"Benar juga! Aku lupa..."
Micah mempertahankan gaya rambut Mohawk nya dengan menyisir rambutnya.
"Aku tidak suka gaya rambutmu, Micah!"
"Masa bodo! Aku suka kok"
Ia pun mengambil Eyeliner dari tasnya.
Dan menegaskan garis itu agar semakin lebar.
"Itu sungguh menyeramkan, Mic."
"Aku tidak peduli!"
Aku beranjak kekamar mandi.

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Kenapa satu bulan ini mereka, The Little Tigers. Tidak lagi mengunjungiku.
Aku menggigit bibirku.
Bahkan Alec pun yang satu kelas denganku tidak pernah menyapaku.
Apa karena kata-kataku kepadanya.
Tapi itukan hanya padanya bukan kedua Tigers lainnya.
Sampai suatu hari aku kumpulkan seluruh keberanian untuk menyapanya.
"Alec!"
Ia menoleh kearahku dan tersenyum.
"Kenapa sekarang kamu terlihat sibuk sekali?"
Ia tersenyum.
"Aku tidak sibuk kok"
Para gadis yang mengerubunginya membuatku kesulitan untuk melihatnya.
Tetapi, Aku sudah mendapat kesimpulan kecil.
Apa mereka hanya ingin menghiburku dalam beberapa saat?
Ya, Walau begitu aku tahu. Yang mereka lakukan itu benar juga.
Aku siapa? Dan mereka siapa?
Aku membetulkan posisi kacamataku.

Dengan tumpukan buku-buku dengan jumlah halaman yang tebal. Menutupi penglihatanku.
Aku terus berjalan menyusuri koridor sekolah yang panjang.
Entah itu karena aku yang terlalu malas atau bagaimana. Tapi rasaku koridor ini sangat panjang dan menyulitkanku.
Aku dapat tugas dari kepala sekolah untuk mengantar semua buku-buku yang kurangkul ini ke kelas dua A SMA.
Dimana Julian belajar.
Kurasa ini bukanlah tugas, Melainkan hukuman yang kudapat akibat aku sering melakukan yang tak disukai guru.
Tanpa sadar aku tertabrak seseorang.
Ah!
Kacamata ku pun ikut terjatuh, karena sedari tadi kacamata ku terus terhimpit antara mataku dan buku-buku itu.
Aku meraba-raba kesana dan kemari mencari kacamataku.
Pria yang kutabrak memberiku kacamataku.
"Ah terima kasih!"
Saat kacamataku sudah kembali ke mataku.
Siapa pria ini?
"Maafkan aku..."
Ia sangat bijaksana dan berwibawa.
Kulihat lencana dikantong seragamnya.
Ternyata ia adalah seorang OSIS.
"Kakak kelas!"
Ia tersenyum kecil dan mengulurkan kedua tangannya untuk membantuku menumpukan buku-buku itu kembali.
"Terima kasih, Kakak kelas!"
Ia pun tak sungkan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.
"Aku Michael!"
Oh... Dari sinilah aku tahu.
Dia adalah OSIS yang sering dipuji oleh siswa dan siswi disekolah. Karena kerjanya yang katanya memukau.
"Aku yakin kakak tidak ingin tahu namaku..."
"Mengenal seseorang adalah hobiku... Mengapa tidak ingin tahu?"
"Aku Xin"
"Jadi kau... Gadis itu?"
Aku terdiam...
Ya, Kurasa dalam beberapa detik lagi ia akan mengucapkan kata... Gadis B.R.
"Gadis yang mereka bilang B.R, Tetapi ternyata tidak..."
Mungkin memang benar dugaanku. Tetapi, Kata-katanya cukup mengejutkanku.
"Tidak apa?"
"Tidak seperti apa yang mereka katakan."
Aku berulang kali mengedipkan mataku.
Aku hanya merasa aneh, Bila tidak dipanggil B.R.
Dan menurutku Tigers pun aneh, Dengan tidak memanggilku sebagai gadis B.R.
Aku mengangkat semua buku-buku itu dan pergi meninggalkannya.

Sampailah aku ke kelas Julian.
Kulihat tak ada satu orang pun di kelas ini.
Situasi ini lebih baik menurutku.
Kutaruh semua buku-buku itu di meja guru.
Kulihat ada catatan disebelahku.
Aku menggapainya dan membacanya dengan seksama.
Disana tertulis...
"Xin... Aku tahu kau akan datang, Itu mengapa aku menulis ini agar dapat kau baca. Hmm, Temui aku di rooftop."
Siapa yang ingin kutemui? Bukankah semua orang membenciku?
Segera aku berlari kearah rooftop.
Menaiki tangga yang panjang mengotak.
Sampai diatas kakiku terasa akan patah karena terlalu lelah.
Aku membetulkan posisi kacamataku, Dan menepuk-tepuk seragamku agar bersih dan rapi.
Aku menggeser pintu kaca itu.
Aku melihat kesekeliling, Ternyata memang ada seorang siswa disana.
Aku masih belum bisa menebak siapa dia.
Tetapi, Semakin dekat kulihat bahwa dia ternyata Julian yang sedang menopangkan kedua tangannya di dinding pendek rooftop.
Aku berteriak memanggilnya.
"Julian!"
Ia menoleh kearahku, Dan karena angin di rooftop sangatlah kencang. Rambutnya pun ikut tertiup, Menambah ketampanannya.
Aku menghampirinya dan tepat berada disebelahnya.
Tangannya mendekat kearah wajahku.
Ia mengaitkan sebagian rambutku yang berada didekat telinga ke telingaku.
Aku terdiam dan aku tak bisa menahan rasa gugupku.
Aku membetulkan posisi kacamataku.
Sejujurnya, Aku ingin sekali bertanya apa yang hendak ia bicarakan.
Aku juga ingin bertanya mengapa ia memanggilku.
Tetapi, Sepertinya suaraku tak dapat keluar dari bibirku.
Atas apa yang telah ia lakukan terhadapku.
Aku mulai merasa ia adalah pria yang lembut.
"Julian..."
Suaraku terdengar kecil sekali bahkan tanpa ada sedikit tekanan.
Aku menggenggam surat yang ada dikantong bajuku.
Baru saja aku akan bertanya tentang surat itu.
Tetapi apa yang terjadi?
"Aku merasa angin... Sedang membawa jiwaku pergi."
"Apa?"
Aku merasa kebingungan dengan apa yang baru saja ia katakan.
Tetapi, Sungguh aku penasaran.
"Maksudmu apa?"
Ia terdiam dengan senyum yang sangat kecil.
Kurasa itu bukanlah senyum yang biasa ia perlihatkan.
"Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Begitupun kamu... Begitupun aku."
Aku jadi semakin penasaran dengan masalahnya.
"Julian... Seharusnya kamu jelaskan apa yang terjadi. Kata-kataku mungkin buruk. Sama seperti parasku. Tetapi, Mungkin itu berguna untuk kamu sekarang."
"Jangan merendahkan dirimu sendiri, Xin."
"Ketika kamu merendahkan dirimu sendiri... Harga dirimu akan jatuh sangat dalam. Bagiku."
Aku semakin tidak mengerti, Namun, Aku hanya berusaha untuk tetap mendengarkan kata-katanya.
"Xin... Ada tiga kata yang menggambarkan diriku sekarang. Kamu tahu?"
Aku menggelengkan kepala.
"Aku sangat lelah..."
Aku juga berusaha menduga. Apa yang sedang terjadi dengannya saat ini.
Masalah apa yang begitu parah? Hingga mengubahnya seperti bukan Julian yang kukenal.
"Sudahlah... Kamu juga tidak akan mengerti..."
Ia tersenyum tenang, Seperti Julian yang kukenal sebelumnya.
Ada perasaan sedikit lega, Tetapi, Rasa takutku pun bertambah juga.
Ia menggandengku tanganku dan mengajak ku pergi meninggalkan rooftop.

Julian...
Jangan bersedih lagi, Ketika kamu bersedih...
Aku tak dapat melihat senyummu lagi.

If Love Is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang